Post by admin™ on Nov 8, 2007 6:54:49 GMT -5
Oleh Iirtheir*
Di atas bis ini, kulihat lampu-lampu kota mulai menyala, di antara titik-titik air gerimis yang meninggalkan sendu di kaca jendela. Satu-satu kupandangi wajah-wajah lelah orang-orang di dalam bis yang seolah nggak perduli dengan sekitarnya. Hidup, sepertinya hanya berjalan untuk bekerja dan bertahan satu hari lagi, kemudian melanjutkan lagi hari berikutnya dengan rutinitas yang sama, seperti mesin-mesin cetak koran di percetakan-percetakan menghasilkan beribu-ribu eksemplar setiap harinya. Hanya dalam 'mesin' gaya baru ini, masih tidak jelas apa yang dihasilkannya.
Kadang-kadang tak jua bisa mengerti, kenapa begitu sukanya manusia mencari stabilitas dan semua hal yang pasti atau bisa diprediksi. Hakikat hidup adalah ketakterdugaan, kejutan-kejutan, dan kemampuan kita beradaptasi dan menghadapi kejutan-kejutan itulah yang membuat hidup menjadi lebih hidup, meminjam slogan sebuah produk rokok. Ah, kita, manusia, sering lupa, sebagai manusia yang hanya numpang lewat di dunia ini, yang kita mampu cuma berencana dan berusaha. Selebihnya, ada banyak faktor X yang nggak bisa kita terjemahkan, bahkan nggak bisa dimengerti yang ikut mempengaruhi berhasil tidaknya rencana-rencana yang kita susun. Meskipun demikian, masih juga rencana-rencana kita susun setinggi gunung, mimpi-mimpi kita tumpuk sampai-sampai langit hari ini tak nampak lagi, keamanan kita coba raih dengan rutinitas dan jaminan ini-itu, dan kita lupa bahwa hidup pada akhirnya adalah tentang saat ini, sekarang. Yang sudah terlewati di masa lalu tinggallah menjadi kenangan, yang kita rencanakan di masa depan masihlah impian. Hari ini, saat ini, nafas yang masih kita miliki detik ini seolah kita lupakan dengan menumpuk mimpi sampai langit hingga tak mampu melihat apa yang kita miliki hari ini dan kesempatan yang ada di depan mata.
Begitu terbiasanya dalam stabilitas, rutinitas, dan keinginan mencapai perasaan aman, kita pun lupa bahwa hidup adalah tentang bagaimana bertahan dalam roler coaster kehidupan tanpa menjadi sinis dan putus asa, berimprovisasi dalam setiap kejutan-kejutannya dan belajar dari setiap kejutannya untuk lebih kuat melangkah melanjutkan hidup tanpa menyerah kalah. Dan yang tak jua kalah penting, bersyukur atas kesempatan yang telah diberi sampai hari ini, karena kita tak pernah tahu, kapan kita akan kembali, menjadi tiada.
Di antara wajah-wajah kuyu yang kutemui lewat pantulan kaca jendela malam ini, terbayang satu-persatu wajah-wajah lama, semua teman dan kerabat yang lewat sepanjang hidupku. Mengingat satu-persatu setiap rahmat, setiap kejutan dan pelajaran, semua tangis dan tawa, dan langkah yang terlewati, dan yang mungkin masih akan kuhadapi. Dalam tarikan nafasku kali ini, yang aku nggak tahu, mungkin masih ada lagi nanti atau tidak, sebaris doa terucap sebelum semua terlambat dan kesempatan telah lewat, karena kesempatan bukanlah milik manusia, kesempatan datang kapan saja dia ingin, dan pergi kapan saja dia mau.
Dari kaca jendela, di antara lampu-lampu yang terlewati dan pantulan wajah-wajah yang tak kukenal, sebuah hari lagi terlewati, sebuah kesempatan lagi, atau sebuah rutinitas lagi? Entahlah. Kupandangi satu-satu wajah-wajah itu. Kembali kubertanya-tanya, sadarkah mereka tentang satu hari lagi yang telah terlewati, berarti berapa tarikan nafas telah kita miliki? Berapa kesempatan telah kita lewati? Sadarkah bahwa hidup adalah tentang saat ini, saat nafas masih mampu kita hirup, saat kesempatan untuk melakukan apa yang kita mau masih terbuka? Sebelum kita punah menjadi debu dalam tiada?
Seperti Bayang-Bayang
Kadang-kadang, kau bertanya, di mana mimpi yang terbuang kita tinggalkan. Di mana sisa-sisa masa lalu mampu kita bersihkan, dan kita pun kembali dalam keadaan terbebaskan.
Mungkin, aku sudah lupa, bagaimana kotak-kotak masa lalu telah terbungkus rapi, tertutup, dan tertinggalkan. Namun, setiap bagian di dalamnya masih meninggalkan kenangan, dan jejak-jejak yang tak mungkin bisa dibersihkan begitu saja. Setiap jengkal kenangan membentuk raut wajah mereka, membentuk raut wajahku (yang sering kali coba kuenyahkan setiap kali cermin memantulkan gambarku).
Kadang-kadang bertanya, di mana mimpi yang terbuang telah tertinggalkan. Mungkin dalam kotak-kotak masa lalu. Setiap kotak yang mengingatkan aku pada setiap jengkal jejak yang tertinggal, berharap terbuang namun tak jua kan hilang.
Seperti bayang-bayang wajahku.
Gili island, 10 Agustus 2006
I Wish I am a Lesbian...
Kadang-kadang, memang harus diakui dan diterima bahwa namanya cowok sama cewek berbeda, ya caranya berpikir, caranya merasa, caranya menyikapi masalah, dan lain-lainnya deh. Dua hal yang berbeda pula ketika cowok dekat dalam hidup kita sebagai teman/sahabat dan ketika dia menjadi pasangan atau pacar. Sebagai teman, pembicaraan-pembicaraan bisa saja mengalir tanpa batas dan tanpa dipikir dan juga tanpa kuatir itu menyinggung perasaan yang mendengarnya atau bikin sentimen, atau bahkan bikin kelahi. Yah, kelahi-kelahi dikit sih nggak papa, kalo sama temen buntut-buntutnya selalu baikan lagi. Kalo sama pasangan? Boro-boro mau ngomong blak-blakan, apa-apa kudu dipikir dulu, jangan-jangan ini bikin masalah, jangan-jangan tersinggung, jangan-jangan bikin kelahi yang ngakibatin perpisahan dan pada akhirnya, semuanya dipendam dan ditekan dalam-dalam sampe jadi bisul kemudian meledak.
Kalo udah gitu, nah, DHUER!, nggak ada yang bisa nahan lagi selain gonthok-gonthokan. Kalo sama temen cowok nih, apa aja bisa didiskusikan, dari yang nggak menarik soal sepakbola sampe yang tabu dan bikin malu. Seks, misalnya. Pembicaraan tentang perselingkuhan atau affair, ketertarikan soal fisik cewek dan apa yang dilihat dan dipikir tuh cowok-cowok waktu ngeliat cewek, sampai masalah seks pun itu soal yang biasa. Nggak ada aneh-anehnya gitu lho, biasa aja. Tapi ternyata, kebanyak punya temen cowok juga membawa masalah, khususnya, karena udah terlalu banyak melewatkan pembicaraan-pembicaraan ini dan itu, mulai mengerti gimana makhluk yang namanya cowok itu berpikir, bertindak, dan merasa, semakin membuat bertanya, kenapa cewek mau sama cowok ya? Maksudku, cowok tuh secara biologis dan terbukti dalam penelitian memiliki alat genital di luar dan itu membuatnya lebih aktif dari pada cewek (maksudnya dalam soal seksual) dibandingkan cewek yang alat reproduksinya tersembunyi di dalam, plus kemampuannya menghasilkan berjuta-juta sperma dalam sehari juga mendukung 'keaktifan' dalam hal itu. Kalo setiap hari menghasilkan 27 juta sperma sehari, kan mereka bisa kelenger kalo nggak dikeluarin! Beda banget sama cewek yang setiap bulan cuma menghasilkan 1 telur. Kalau berhasil dibuahi, kudu menjaga telurnya berkembang selama 9 bulan 10 hari bo! Itu kenapa cewek lebih calm soal seks, lebih pilih-pilih soal pasangan.
Tapi sebaliknya, cowok tuh malah punya kecendrungan jauh lebih besar dibanding cewek untuk punya affair dan nggak setia. Itu kenapa, seringan ngobrol sama cowok tentang apa sih yang pertama-tama dilihat cowok dari cewek, pasti masalah fisik (yang lagi-lagi berhubungan dengan menarik-tidaknya untuk jadi partner seksual), menempati posisi tertinggi. Masalah muka, pantat, dan dada merupakan salah satu kriteria penting. Terus ya, udah tahu gini juga, kenapa ya cewek itu masih mau dan masih jatuh cinta sama cowok juga, meskipun mereka punya kecendrungan untuk nggak setia, lebih jelalatan matanya ke mana-mana, dll? Kenapa nggak jatuh cinta ke sesama cewek aja yang lebih bisa dipercaya?
Ps: untuk para cowok, mohon jangan tersinggung. hanya menganalisis berdasarkan riset dan pengalaman pribadi aja.
Terurai Satu-satu
Akhirnya, satu-persatu terurai. Sekian lama berpura-pura seolah-olah bopeng itu tak pernah ada. Mencoba menyingkirkan pada setiap sudut dan berharap dapat luput dari pandangan, hingga pada akhirnya terlupakan. Pada kenyataannya, hidup tidak pernah demikian, kan? Setiap kali menengok ke belakang, pandangan pada rongga bopeng itu begitu saja langsung menarikmu, tanpa kau mampu untuk mengelak atau bahkan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Pada akhirnya, ketakutan-ketakutan itulah yang selayaknya dihadapi, bukannya memberi makan sehingga ia membesar dan merajai.
Di atas bis ini, kulihat lampu-lampu kota mulai menyala, di antara titik-titik air gerimis yang meninggalkan sendu di kaca jendela. Satu-satu kupandangi wajah-wajah lelah orang-orang di dalam bis yang seolah nggak perduli dengan sekitarnya. Hidup, sepertinya hanya berjalan untuk bekerja dan bertahan satu hari lagi, kemudian melanjutkan lagi hari berikutnya dengan rutinitas yang sama, seperti mesin-mesin cetak koran di percetakan-percetakan menghasilkan beribu-ribu eksemplar setiap harinya. Hanya dalam 'mesin' gaya baru ini, masih tidak jelas apa yang dihasilkannya.
Kadang-kadang tak jua bisa mengerti, kenapa begitu sukanya manusia mencari stabilitas dan semua hal yang pasti atau bisa diprediksi. Hakikat hidup adalah ketakterdugaan, kejutan-kejutan, dan kemampuan kita beradaptasi dan menghadapi kejutan-kejutan itulah yang membuat hidup menjadi lebih hidup, meminjam slogan sebuah produk rokok. Ah, kita, manusia, sering lupa, sebagai manusia yang hanya numpang lewat di dunia ini, yang kita mampu cuma berencana dan berusaha. Selebihnya, ada banyak faktor X yang nggak bisa kita terjemahkan, bahkan nggak bisa dimengerti yang ikut mempengaruhi berhasil tidaknya rencana-rencana yang kita susun. Meskipun demikian, masih juga rencana-rencana kita susun setinggi gunung, mimpi-mimpi kita tumpuk sampai-sampai langit hari ini tak nampak lagi, keamanan kita coba raih dengan rutinitas dan jaminan ini-itu, dan kita lupa bahwa hidup pada akhirnya adalah tentang saat ini, sekarang. Yang sudah terlewati di masa lalu tinggallah menjadi kenangan, yang kita rencanakan di masa depan masihlah impian. Hari ini, saat ini, nafas yang masih kita miliki detik ini seolah kita lupakan dengan menumpuk mimpi sampai langit hingga tak mampu melihat apa yang kita miliki hari ini dan kesempatan yang ada di depan mata.
Begitu terbiasanya dalam stabilitas, rutinitas, dan keinginan mencapai perasaan aman, kita pun lupa bahwa hidup adalah tentang bagaimana bertahan dalam roler coaster kehidupan tanpa menjadi sinis dan putus asa, berimprovisasi dalam setiap kejutan-kejutannya dan belajar dari setiap kejutannya untuk lebih kuat melangkah melanjutkan hidup tanpa menyerah kalah. Dan yang tak jua kalah penting, bersyukur atas kesempatan yang telah diberi sampai hari ini, karena kita tak pernah tahu, kapan kita akan kembali, menjadi tiada.
Di antara wajah-wajah kuyu yang kutemui lewat pantulan kaca jendela malam ini, terbayang satu-persatu wajah-wajah lama, semua teman dan kerabat yang lewat sepanjang hidupku. Mengingat satu-persatu setiap rahmat, setiap kejutan dan pelajaran, semua tangis dan tawa, dan langkah yang terlewati, dan yang mungkin masih akan kuhadapi. Dalam tarikan nafasku kali ini, yang aku nggak tahu, mungkin masih ada lagi nanti atau tidak, sebaris doa terucap sebelum semua terlambat dan kesempatan telah lewat, karena kesempatan bukanlah milik manusia, kesempatan datang kapan saja dia ingin, dan pergi kapan saja dia mau.
Dari kaca jendela, di antara lampu-lampu yang terlewati dan pantulan wajah-wajah yang tak kukenal, sebuah hari lagi terlewati, sebuah kesempatan lagi, atau sebuah rutinitas lagi? Entahlah. Kupandangi satu-satu wajah-wajah itu. Kembali kubertanya-tanya, sadarkah mereka tentang satu hari lagi yang telah terlewati, berarti berapa tarikan nafas telah kita miliki? Berapa kesempatan telah kita lewati? Sadarkah bahwa hidup adalah tentang saat ini, saat nafas masih mampu kita hirup, saat kesempatan untuk melakukan apa yang kita mau masih terbuka? Sebelum kita punah menjadi debu dalam tiada?
Seperti Bayang-Bayang
Kadang-kadang, kau bertanya, di mana mimpi yang terbuang kita tinggalkan. Di mana sisa-sisa masa lalu mampu kita bersihkan, dan kita pun kembali dalam keadaan terbebaskan.
Mungkin, aku sudah lupa, bagaimana kotak-kotak masa lalu telah terbungkus rapi, tertutup, dan tertinggalkan. Namun, setiap bagian di dalamnya masih meninggalkan kenangan, dan jejak-jejak yang tak mungkin bisa dibersihkan begitu saja. Setiap jengkal kenangan membentuk raut wajah mereka, membentuk raut wajahku (yang sering kali coba kuenyahkan setiap kali cermin memantulkan gambarku).
Kadang-kadang bertanya, di mana mimpi yang terbuang telah tertinggalkan. Mungkin dalam kotak-kotak masa lalu. Setiap kotak yang mengingatkan aku pada setiap jengkal jejak yang tertinggal, berharap terbuang namun tak jua kan hilang.
Seperti bayang-bayang wajahku.
Gili island, 10 Agustus 2006
I Wish I am a Lesbian...
Kadang-kadang, memang harus diakui dan diterima bahwa namanya cowok sama cewek berbeda, ya caranya berpikir, caranya merasa, caranya menyikapi masalah, dan lain-lainnya deh. Dua hal yang berbeda pula ketika cowok dekat dalam hidup kita sebagai teman/sahabat dan ketika dia menjadi pasangan atau pacar. Sebagai teman, pembicaraan-pembicaraan bisa saja mengalir tanpa batas dan tanpa dipikir dan juga tanpa kuatir itu menyinggung perasaan yang mendengarnya atau bikin sentimen, atau bahkan bikin kelahi. Yah, kelahi-kelahi dikit sih nggak papa, kalo sama temen buntut-buntutnya selalu baikan lagi. Kalo sama pasangan? Boro-boro mau ngomong blak-blakan, apa-apa kudu dipikir dulu, jangan-jangan ini bikin masalah, jangan-jangan tersinggung, jangan-jangan bikin kelahi yang ngakibatin perpisahan dan pada akhirnya, semuanya dipendam dan ditekan dalam-dalam sampe jadi bisul kemudian meledak.
Kalo udah gitu, nah, DHUER!, nggak ada yang bisa nahan lagi selain gonthok-gonthokan. Kalo sama temen cowok nih, apa aja bisa didiskusikan, dari yang nggak menarik soal sepakbola sampe yang tabu dan bikin malu. Seks, misalnya. Pembicaraan tentang perselingkuhan atau affair, ketertarikan soal fisik cewek dan apa yang dilihat dan dipikir tuh cowok-cowok waktu ngeliat cewek, sampai masalah seks pun itu soal yang biasa. Nggak ada aneh-anehnya gitu lho, biasa aja. Tapi ternyata, kebanyak punya temen cowok juga membawa masalah, khususnya, karena udah terlalu banyak melewatkan pembicaraan-pembicaraan ini dan itu, mulai mengerti gimana makhluk yang namanya cowok itu berpikir, bertindak, dan merasa, semakin membuat bertanya, kenapa cewek mau sama cowok ya? Maksudku, cowok tuh secara biologis dan terbukti dalam penelitian memiliki alat genital di luar dan itu membuatnya lebih aktif dari pada cewek (maksudnya dalam soal seksual) dibandingkan cewek yang alat reproduksinya tersembunyi di dalam, plus kemampuannya menghasilkan berjuta-juta sperma dalam sehari juga mendukung 'keaktifan' dalam hal itu. Kalo setiap hari menghasilkan 27 juta sperma sehari, kan mereka bisa kelenger kalo nggak dikeluarin! Beda banget sama cewek yang setiap bulan cuma menghasilkan 1 telur. Kalau berhasil dibuahi, kudu menjaga telurnya berkembang selama 9 bulan 10 hari bo! Itu kenapa cewek lebih calm soal seks, lebih pilih-pilih soal pasangan.
Tapi sebaliknya, cowok tuh malah punya kecendrungan jauh lebih besar dibanding cewek untuk punya affair dan nggak setia. Itu kenapa, seringan ngobrol sama cowok tentang apa sih yang pertama-tama dilihat cowok dari cewek, pasti masalah fisik (yang lagi-lagi berhubungan dengan menarik-tidaknya untuk jadi partner seksual), menempati posisi tertinggi. Masalah muka, pantat, dan dada merupakan salah satu kriteria penting. Terus ya, udah tahu gini juga, kenapa ya cewek itu masih mau dan masih jatuh cinta sama cowok juga, meskipun mereka punya kecendrungan untuk nggak setia, lebih jelalatan matanya ke mana-mana, dll? Kenapa nggak jatuh cinta ke sesama cewek aja yang lebih bisa dipercaya?
Ps: untuk para cowok, mohon jangan tersinggung. hanya menganalisis berdasarkan riset dan pengalaman pribadi aja.
Terurai Satu-satu
Akhirnya, satu-persatu terurai. Sekian lama berpura-pura seolah-olah bopeng itu tak pernah ada. Mencoba menyingkirkan pada setiap sudut dan berharap dapat luput dari pandangan, hingga pada akhirnya terlupakan. Pada kenyataannya, hidup tidak pernah demikian, kan? Setiap kali menengok ke belakang, pandangan pada rongga bopeng itu begitu saja langsung menarikmu, tanpa kau mampu untuk mengelak atau bahkan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Pada akhirnya, ketakutan-ketakutan itulah yang selayaknya dihadapi, bukannya memberi makan sehingga ia membesar dan merajai.