Post by admin™ on Oct 4, 2007 19:40:44 GMT -5
Aku tidak tahu bagi orang lain, tapi bagi aku cerpen ini sangat berkesan di hati aku... mungkin setengah2 yang membaca tidak faham kerana dalam bahasa indonesia.. tapi ye ye yelah......mudah saja untuk memahami jalan cerita itu sebenarnya....
Pagi saat istrinya tak lagi bangun dari tidur, ia menunggu cukup lama di samping perempuan tua itu. Itu adalah pagi yang tak sama dengan 37 tahun pagi hari sebelumnya. Biasanya, istrinya selalu bangun lebih dahulu. Menyiapkan sarapan, sedikit berdandan, lalu jika perempuan tersebut sedang ingin memanjakan suaminya, ia akan membawa sarapan ke atas kasur. Membiarkan aroma harum kopi susu menguar ke hidung lelaki terkasihnya dan membuatnya terjaga. Sambil berterimakasih, laki-laki itu selalu mencium punggung tangan istrinya. Ia akan terus memegangi tangan istrinya sambil memakan sedikit-sedikit telur orak-arik sarapannya serta menyeruput kopi susunya sampai tertinggal ampas di dasar cangkir.
Ranjang adalah tempat favorit keduanya. Tempat mereka tak hanya tidur, tetapi juga tempat panas saat terbakar asmara pada malam-malam dan siang-siang dan pagi-pagi dan sore-sore, hingga saat tubuh keduanya tak lagi perkasa dan ranjang menjadi dingin dan keduanya memindahkan televisi ke dalam kamar sebagai hiburan juga tumpukan buku sebagai bacaan. Di atas semua itu, ada satu yang tak pernah berubah, mereka tak pernah bosan berpegangan tangan. Ranjang bisa saja berubah dingin, sedingin ubin. Tapi tangan mereka yang tak lepas paut tetap membuat hati keduanya hangat.
Tiga puluh tujuh tahun, dan tak satu anak pun yang lahir dari rahim sang istri. Mereka sudah melewati tahun-tahun saat perempuan tua itu mengutuki dirinya sendiri atas ketakkunjungan dirinya berbadan dua. Ada saat sang istri tak hendak melepas genggaman suaminya, mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi. Kekhawatirannya akan kemungkinan lelaki itu berpaling ke perempuan yang lebih muda –dan lebih subur- sempat membuncah. Toh lelaki itu tetap membiarkan istrinya menggenggam tangannya, membuat cincin kawin keduanya beradu, menjadikan tangan mereka basah karena keringat, dan lelaki itu justru lebih erat lagi menggenggam tangan istrinya. Tahun-tahun berlalu, mereka sedikit demi sedikit mengubur impian purba mereka. Tak ada anak. Selanjutnya, entah dari mana atau kapan atau bagaimana tepatnya, rumah mungil mereka telah penuh dengan kucing. Padahal dulu, mereka selalu berpikir bahwa bulu kucing tak baik bagi pernapasan anak. Namun entah kenapa, kini kucing-kucing betah berkumpul di rumah itu. Tak satu pun kucing yang datang diusir, semua kucing bebas datang.
“Aku akan berlangganan susu lebih banyak untuk kucing-kucing itu,” ujar istri pada suatu hari memberitakan rencananya. Dan bertahun-tahun kemudian, bahkan hingga pagi saat perempuan itu tak lagi bangun dari tidurnya, tukang susu masih mengantar dua krat susu segar dalam botol yang ia letakkan di depan pintu. Kucing-kucing juga masih mengeong seakan menuntut minuman pagi mereka. Suami juga masih menunggu istrinya bangun. Matahari menyelipkan sinarnya, menjatuhkan terangnya di wajah perempuan tua itu. Lelaki itu merasa damai melihat wajah istrinya, ada rasa syukur yang menyelip di hatinya karena memiliki perempuan itu dalam hidupnya dan ia tak ingin berpisah. Tapi lama ia menunggu, perempuan itu tak kunjung membuka mata, sedang kucing mengeong semakin santer menuntut susu mereka. Maka digenggamnya tangan perempuan itu. Dingin menjalar di antara tangannya yang keriput, ia tersentak. Ia mulai curiga, ada yang salah pada perempuan terkasihnya. Kemudian dia mengguncangkan tubuh tak bernyawa itu dengan lembut. Tetapi ia tak kunjung bangun, ia mengguncang tubuh perempuan itu lebih keras. Tetapi mata tuanya tetap tak terbuka. Lalu disentuhnya wajah istrinya, dingin kembali menjalar di antara kulitnya yang tak kenyal. Ia tak merasakan napas dari hidung istrinya. Saat itulah dia tahu, bahwa di rumah itu kini tinggal dirinya dan kucing-kucingnya. Tangisnya pecah.
* * *
Pagi saat lelaki tua itu tahu bahwa istrinya telah meninggal dalam tidurnya dan tak hendak bangun lagi, ia memeluk erat-erat tubuh perempuan kesayangannya seperti tak hendak ditinggal pergi. Dia menangis hebat sambil tak henti memanggil-manggil nama istrinya. Kucing-kucing terus mengeong-ngeong, seperti mencoba membangunkan tuannya. Perempuan itu tetap tak bangun.
Menjelang siang, lelaki itu keluar dari kamarnya. Mengamati ruangan yang kini terasa kosong. Kucing-kucing bersebaran di sekitar ruangan. Tak ada kopi susu hangat, tak ada telur orak-arik, tak ada istrinya. Sejenak, dua jenak, beberapa jenak, lelaki itu bingung akan apa yang musti dilakukannya kini. Ia baru menyadari, bahwa selama ini istrinyalah yang mengurus dirinya. Membuatkan makanan, mengingatkannya untuk segera mandi, memintanya membetulkan antena televisi atau menyingkirkan kotoran kucing atau membuang sampah atau apa pun. Kini dia betul-betul tak tahu apa yang akan dilakukannya. Dilihatnya istrinya, yang masih dengan gaun tidur dan tergeletak dengan mata terpejam di ranjang. Seakan-akan lelaki itu bertanya, ‘apa yang harus kulakukan sekarang?’ tapi tak ada jawaban. Ia berpikir keras, ia belum pernah menangani orang mati. Lalu menghampiri istrinya dan menggenggam tangan dingin perempuan itu, menyiumnya berkali-kali, menangis lagi.
* * *
Lelaki itu akhirnya memutuskan akan meminta tolong seseorang. Ia ganti baju, menuju keluar. Dilihatnya kucing-kucing berkumpul di depan pintu masuk. Salah satu kucing itu sudah menjatuhkan botol susu hingga pecah dan mereka mengerumuminya, menjilatinya. Lelaki itu akan keluar dan minta tolong seseorang, tetapi pertama-tama ada yang harus dia lakukan terlebih dahulu karena tak mungkin dia sanggup bepergian sendirian, apalagi keadaannya tengah terguncang. Selama ini dia selalu bepergian dengan istrinya, saling berpegangan tangan. Dia menuju gudang. Mengambil gergaji mesin lalu kembali ke kamar.
“Sayang, kita harus keluar dan cari pertolongan,” katanya. Ruangan gemuruh dengan gergaji mesin saat lelaki itu menekan tombol ‘on’ untuk menyalakan alat pemotong kayu. Diraihnya lengan kanan istrinya, jari manisnya masih berhias cincin perkawinan mereka. Adegan selanjutnya adalah: lelaki tersebut mulai menggergaji tangan istrinya tepat di siku. Darah yang belum betul-betul kental muncrat. Merah mewarnai gaun tidur dan sprei dan lantai. Ia –dan lengan istrinya- kini siap pergi keluar mencari pertolongan menangani orang mati
Pagi saat istrinya tak lagi bangun dari tidur, ia menunggu cukup lama di samping perempuan tua itu. Itu adalah pagi yang tak sama dengan 37 tahun pagi hari sebelumnya. Biasanya, istrinya selalu bangun lebih dahulu. Menyiapkan sarapan, sedikit berdandan, lalu jika perempuan tersebut sedang ingin memanjakan suaminya, ia akan membawa sarapan ke atas kasur. Membiarkan aroma harum kopi susu menguar ke hidung lelaki terkasihnya dan membuatnya terjaga. Sambil berterimakasih, laki-laki itu selalu mencium punggung tangan istrinya. Ia akan terus memegangi tangan istrinya sambil memakan sedikit-sedikit telur orak-arik sarapannya serta menyeruput kopi susunya sampai tertinggal ampas di dasar cangkir.
Ranjang adalah tempat favorit keduanya. Tempat mereka tak hanya tidur, tetapi juga tempat panas saat terbakar asmara pada malam-malam dan siang-siang dan pagi-pagi dan sore-sore, hingga saat tubuh keduanya tak lagi perkasa dan ranjang menjadi dingin dan keduanya memindahkan televisi ke dalam kamar sebagai hiburan juga tumpukan buku sebagai bacaan. Di atas semua itu, ada satu yang tak pernah berubah, mereka tak pernah bosan berpegangan tangan. Ranjang bisa saja berubah dingin, sedingin ubin. Tapi tangan mereka yang tak lepas paut tetap membuat hati keduanya hangat.
Tiga puluh tujuh tahun, dan tak satu anak pun yang lahir dari rahim sang istri. Mereka sudah melewati tahun-tahun saat perempuan tua itu mengutuki dirinya sendiri atas ketakkunjungan dirinya berbadan dua. Ada saat sang istri tak hendak melepas genggaman suaminya, mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi. Kekhawatirannya akan kemungkinan lelaki itu berpaling ke perempuan yang lebih muda –dan lebih subur- sempat membuncah. Toh lelaki itu tetap membiarkan istrinya menggenggam tangannya, membuat cincin kawin keduanya beradu, menjadikan tangan mereka basah karena keringat, dan lelaki itu justru lebih erat lagi menggenggam tangan istrinya. Tahun-tahun berlalu, mereka sedikit demi sedikit mengubur impian purba mereka. Tak ada anak. Selanjutnya, entah dari mana atau kapan atau bagaimana tepatnya, rumah mungil mereka telah penuh dengan kucing. Padahal dulu, mereka selalu berpikir bahwa bulu kucing tak baik bagi pernapasan anak. Namun entah kenapa, kini kucing-kucing betah berkumpul di rumah itu. Tak satu pun kucing yang datang diusir, semua kucing bebas datang.
“Aku akan berlangganan susu lebih banyak untuk kucing-kucing itu,” ujar istri pada suatu hari memberitakan rencananya. Dan bertahun-tahun kemudian, bahkan hingga pagi saat perempuan itu tak lagi bangun dari tidurnya, tukang susu masih mengantar dua krat susu segar dalam botol yang ia letakkan di depan pintu. Kucing-kucing juga masih mengeong seakan menuntut minuman pagi mereka. Suami juga masih menunggu istrinya bangun. Matahari menyelipkan sinarnya, menjatuhkan terangnya di wajah perempuan tua itu. Lelaki itu merasa damai melihat wajah istrinya, ada rasa syukur yang menyelip di hatinya karena memiliki perempuan itu dalam hidupnya dan ia tak ingin berpisah. Tapi lama ia menunggu, perempuan itu tak kunjung membuka mata, sedang kucing mengeong semakin santer menuntut susu mereka. Maka digenggamnya tangan perempuan itu. Dingin menjalar di antara tangannya yang keriput, ia tersentak. Ia mulai curiga, ada yang salah pada perempuan terkasihnya. Kemudian dia mengguncangkan tubuh tak bernyawa itu dengan lembut. Tetapi ia tak kunjung bangun, ia mengguncang tubuh perempuan itu lebih keras. Tetapi mata tuanya tetap tak terbuka. Lalu disentuhnya wajah istrinya, dingin kembali menjalar di antara kulitnya yang tak kenyal. Ia tak merasakan napas dari hidung istrinya. Saat itulah dia tahu, bahwa di rumah itu kini tinggal dirinya dan kucing-kucingnya. Tangisnya pecah.
* * *
Pagi saat lelaki tua itu tahu bahwa istrinya telah meninggal dalam tidurnya dan tak hendak bangun lagi, ia memeluk erat-erat tubuh perempuan kesayangannya seperti tak hendak ditinggal pergi. Dia menangis hebat sambil tak henti memanggil-manggil nama istrinya. Kucing-kucing terus mengeong-ngeong, seperti mencoba membangunkan tuannya. Perempuan itu tetap tak bangun.
Menjelang siang, lelaki itu keluar dari kamarnya. Mengamati ruangan yang kini terasa kosong. Kucing-kucing bersebaran di sekitar ruangan. Tak ada kopi susu hangat, tak ada telur orak-arik, tak ada istrinya. Sejenak, dua jenak, beberapa jenak, lelaki itu bingung akan apa yang musti dilakukannya kini. Ia baru menyadari, bahwa selama ini istrinyalah yang mengurus dirinya. Membuatkan makanan, mengingatkannya untuk segera mandi, memintanya membetulkan antena televisi atau menyingkirkan kotoran kucing atau membuang sampah atau apa pun. Kini dia betul-betul tak tahu apa yang akan dilakukannya. Dilihatnya istrinya, yang masih dengan gaun tidur dan tergeletak dengan mata terpejam di ranjang. Seakan-akan lelaki itu bertanya, ‘apa yang harus kulakukan sekarang?’ tapi tak ada jawaban. Ia berpikir keras, ia belum pernah menangani orang mati. Lalu menghampiri istrinya dan menggenggam tangan dingin perempuan itu, menyiumnya berkali-kali, menangis lagi.
* * *
Lelaki itu akhirnya memutuskan akan meminta tolong seseorang. Ia ganti baju, menuju keluar. Dilihatnya kucing-kucing berkumpul di depan pintu masuk. Salah satu kucing itu sudah menjatuhkan botol susu hingga pecah dan mereka mengerumuminya, menjilatinya. Lelaki itu akan keluar dan minta tolong seseorang, tetapi pertama-tama ada yang harus dia lakukan terlebih dahulu karena tak mungkin dia sanggup bepergian sendirian, apalagi keadaannya tengah terguncang. Selama ini dia selalu bepergian dengan istrinya, saling berpegangan tangan. Dia menuju gudang. Mengambil gergaji mesin lalu kembali ke kamar.
“Sayang, kita harus keluar dan cari pertolongan,” katanya. Ruangan gemuruh dengan gergaji mesin saat lelaki itu menekan tombol ‘on’ untuk menyalakan alat pemotong kayu. Diraihnya lengan kanan istrinya, jari manisnya masih berhias cincin perkawinan mereka. Adegan selanjutnya adalah: lelaki tersebut mulai menggergaji tangan istrinya tepat di siku. Darah yang belum betul-betul kental muncrat. Merah mewarnai gaun tidur dan sprei dan lantai. Ia –dan lengan istrinya- kini siap pergi keluar mencari pertolongan menangani orang mati