admin™
AdminKandang™
BossMung kandang kamben
Hello Hello Hello Goodbye
Posts: 13,619
|
Post by admin™ on Jul 12, 2019 10:27:28 GMT -5
Matius 19:9 dalam Perceraian dan Pernikahan Lagi Prof. Herman Hanko
"Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." (Matt. 19:9).
Seorang pembaca bertanya, “bolehkah orang Kristen yang diceraikan menikah lagi dengan orang Kristen lainnya? Penanya bertanya mengenai orang-orang Kristen dan bukan orang-orang pada umumnya, meskipun apa yang benar bagi orang-orang Kristen dalam kaitan ini berlaku juga bagi semua orang. Jika orang-orang Kristen boleh menceraikan pendampingnya dan menikah lagi, boleh juga bagi orang-orang yang belum percaya. Begitu juga kebalikannya. Jika seorang yang belum percaya boleh menceraikan pendampingnya dan menikah kembali, seorang Kristen boleh juga melakukan hal yang sama. Apa yang berlaku bagi suatu hal, berlaku juga bagi seluruhnya.
Aturan Allah inilah dapat diterapkan secara seimbang bagi orang percaya dan orang yang belum percaya karena dalam mendiskusikan perceraian dan pernikahan lagi, Kitab Suci membahas suatu ketetapan ciptaan. Yesus membuat hal ini begitu jelas dalam Matius 19:4-6 dalam menjawab pertanyaan orang Farisi mengenai perceraian dan pernikahan lagi: ” Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Pernikahan dilembagakan oleh Allah pada waktu penciptaan dan Dia membentangkan ketetapan-ketetapan yang berlaku pada seluruh ras manusia yang diciptakan dalam Adam.
Argumen mengenai perceraian dan pernikahan lagi (beberapa pihak menyetujui dan yang lainnya menolaknya) bergantung pada interpretasi ayat yang dikutip di atas, Matius 19:9. pertanyaan yang spesifik adalah: Apakah perubahan klausa “kecuali karena zinah” yang mendahului klausa itu (“Barangsiapa menceraikan istrinya”) atau klausa itu mengubah klausa sesudahnya (“lalu kawin dengan perempuan lain”).
Jika klausa “kecuali karena zinah” mengubah “lalu kawin dengan perempuan lain”, maka, jika dasar mula-mula dari perceraian adalah percabulan, hal itu dapat diizinkan untuk menikah lagi. Tetapi jika klausa tersebut “kecuali karena zinah” mengubah klausa yang sebelumnya, maka pernikahan lagi adalah salah, bahkan setelah perceraian.
Demi membentuk argumen yang seakurat mungkin: Jika seorangsuami dan istri diceraikan karena satu pihak atau pihak lain telah melakukan percabulan, maka pertanyaannya adalah: Bolehkah pihak yang tidak bersalah menikah lagi? (pada pembahasan sebelumnya, ada baiknya untuk memperhatikan bahwa tidak seorang pun menanyakan berkaitan dengan pihak yang bersalah: Bolehkah pihak yang bersalah menikah lagi?)
Pernikahan lagi pihak yang bersalah merupakan posisi yang dipegang oleh banyak orang dan dimasukkan oleh Dewan Westminster. Tetapi saya berkeyakinan bahwa hal ini posisi yang salah. Saya yakin bahwa pernikahan lagi merupakan hal yang dilarang (Mat. 5:32), jika perkataan Tuhan Yesus dengan jelas mengizinkan perceraian dengan dasar percabulan/zinah, entah itu oleh pihak yang bersalah maupun yang tidak bersalah.
Walaupun Matius 19:9 mungkin bersifat ambigu, perikop yang lain dalam Kitab Suci begitu jelas pada masalah ini bahwa Matius 19:9 harus diinterpretasikan dalam arti perikop yang lain itu. Saya tidak mengutip perikop-perikop itu di sini, tetepi saya akan menanyakan pembaca untuk mencari dan mempertimbangkan dalam pergumulan doa berdasarkan Matius 5:32, Markus 10:11-12, Lukas 16:18, Roma 7:1-3, Maleaki 2:16, dan I Korintus 7:10-11.
Ketika melembagakan pernikahan dan menikahkan Adam dan Hawa, Allah menggambarkan pernikahan sebagai dua orang yang menjadi “satu daging”. Hal itu tidaklah mustahil untuk memisahkan dua bagian dari satu daging tanpa membunuh seseorang melalui pembelahan/pemisahan. Suami dan istri adalah satu daging dan tidak dapat dipisahkan. Bukan hanya mereka tidak boleh dipisahkan; mereka tidak dapat berpisah.
Karena itu kita harus memperhatikan bahwa bercerai atas dasar percabualan bukan merupakan suatu kehancuran atau pelepasan dari pernikahan; dua orang yang bercerai tetap menjadi satu daging. Tetapi hal ini adalah suatu perpisahan dari kehidupan bersama karena ketidaksetiaan dari pasangannya, yang, melalui percabulan/perzinahan, menjadi ”satu daging” dengan orang lain (Ikor. 6:16). Karena pernikahan tetap, pernikahan lagi adalah perzinahan, dan bahkan berpoligami (seorang lelaki dengan banyak wanita) atau berpoliandri (seorang wanita dengan banyak lelaki), yang dikutuk oleh Allah (Mat. 5:32).
Jika seorang pasangan dalam pernikahan bercerai dan menikah lagi, cara berdamai melalui pertobatan telah tertutup. Tetapi, dalam hubungan antara sesama Kristen, seseorang [pihak yang tidak bersalah] harus selalu membuka pintu untuk bertobat dan berdamai dalam segala kepahitan yang mendalam dan atas segala hal dalam pernikahan.
Pernikahan antara sesama orang Kristen merupakan gambaran relasi antara Kristus dengan gereja-Nya menurut Efesus 5:22-33. Relasi ini antara Kristus dan gereja-Nya begitu intimnya hingga Kristus dan umat-Nya menjadi satu daging. Mereka tidak dapat terlepaskan. Pernikahan tersebut bersifat kekal dan selama-lamanya.
Benarlah, kita, yang begitu sering tidak setia, melakukan dosa yang memilukan dari percabulan rohani yang akan menyudahi ikatan pernikahan antara Kristus dan umat-Nya – jika hal itu [menurut kita] mampu disudahi. Rasul Yakobus menyebut orang-orang yang dia tulis dalam suratnya ”orang-orang yang tidak setia” [pencabul pria dan wanita – KJV] (4:4). Tetapi, bersyukur kepada Allah, Kristus tidak pernah menceraikan umat-Nya. Dia menjagai ikatan pernikahan dan tidak akan pernah membiarkan ikatan itu tersudahi, tidak, bahkan bukan oleh segala dosa-dosa kita.
Yehezkiel 16 melukiskan gambaran grafis yang bagus sekali. Setelah menggambarkan pencabul Yehuda [bangsa Israel Selatan], Allah berfirman, ”Tetapi Aku akan mengingat perjanjian [kovenan]-Ku dengan engkau pada masa mudamu dan Aku akan meneguhkan bagimu perjanjian [kovenan] yang kekal.”
Pernikahan antara sesama Kristen adalah perwakilan hubungan sorgawi antara Allah dan umat-Nya dalam Kristus. Bersyukur kepada Allah yang tidak pernah akan menceraikan kita, karena ikatan kovenan [perjanjian yang lebih kuat dari bentuk perjanjian apa pun pada zaman kuno – terj.] yang Dia dirikan adalah ikatan yang tidak berkesudahan dan Dia adalah setia. Maka marilah kita juga bersetia dalam pernikahan kita. Jika tragedi bercerai meregut kita karena ketidaksetiaan pendampig kita, marilah kita bertahan, sejauh yang kita mampu, mempertahankan pernikahan seerat-eratnya, karena kita tidak boleh menikah lagi.
|
|
admin™
AdminKandang™
BossMung kandang kamben
Hello Hello Hello Goodbye
Posts: 13,619
|
Post by admin™ on Jul 12, 2019 10:30:39 GMT -5
Tujuan Ilahi Pernikahan Ajaran-Ajaran Presiden Gereja: Harold B. Lee
Apakah yang dapat kita lakukan untuk memperkuat pernikahan kekal dan mempersiapkan remaja untuk menikah di bait suci? Pendahuluan Presiden Harold B. Lee mengajarkan mengenai sangat pentingnya menikah di bait suci dan mengenai pentingnya para suami dan istri bekerja bersama di sepanjang kehidupan mereka untuk memperkuat pernikahan mereka:
“Pernikahan adalah kemitraan. Seseorang telah mengamati bahwa dalam laporan Alkitab mengenai penciptaan, wanita tidak dibentuk dari kepala pria, yang mengisyaratkan bahwa dia dapat memerintah pria, juga tidak dibentuk dari bagian kaki pria sehingga dia dapat diinjak-injkak oleh pria. Wanita diambil dari bagian sisi pria seolah-olah menekankan fakta bahwa dia senantiasa berada di sisi pria sebagai rekan dan pasangan. Di mezbah pernikahan Anda saling berjanji dengan satu sama lain mulai hari itu untuk saling menanggungg beban bersama. Merujuk kepada pernikahan, Rasul Paulus menasihati: ‘Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang’ (2 Korintus 6:14). Meskipun nasihatnya secara khusus lebih berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut ketidakseimbangan antara kepentingan-kepentingan agama dan keinginan rohani, namun makna yang diisyaratkan dalam pernyataannya tidak boleh diabaikan. Seperti kuk sapi jantan yang menarik muatan di sepanjang jalan, jika salah satu di antara sapi tersebut berjalan tertatih-tatih atau malas dan lamban atau jahat atau keras kepala, maka muatan akan rusak dan kehancuran akan menyertai. Untuk alasan-alasan yang serupa, ada pernikahan yang gagal ketika salah satu atau kedua belah pihak gagal melaksanakan tanggung jawab-tanggung jawab mereka terhadap satu sama lain ….
“Tetapi bahkan lebih penting daripada Anda menjadi ‘pasangan yang seimbang’ dalam hal-hal jasmani, adalah agar Anda juga menjadi pasangan yang seimbang dalam hal-hal rohani …. Sudah pasti bahwa rumah tangga dan keluarga yang ditegakkan dengan tujuan membangunnya bahkan sampai kepada kekekalan dan dimana anak-anak disambut sebagai ‘milik pusaka dari pada Tuhan’ [lihat Mazmur 127:3] memiliki kesempatan untuk bertahan jauh lebih besar karena kekudusan yang menyertai rumah tangga dan keluarga tersebut.”1
Ajaran-ajaran Harold B. Lee Mengapa pernikahan kekal penting bagi permuliaan kita? Marilah kita pertimbangkan pernikahan pertama yang dilaksanakan setelah bumi dibentuk. Adam, manusia pertama, telah diciptakan, demikian pula dengan binatang-binatang dan unggas serta setiap makhluk hidup di bumi. Kemudian kita menemukan catatan berikut: “Tuhan Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya.” Setelah Tuhan membentuk Hawa, “lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Dia akan dinamai perempuan, sebab dia diambil dari laki-laki. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:18, 22–24) …. Setelah mereka menikah Tuhan memerintahkan mereka “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kejadian 1:28).
Di sini dilaksanakan pernikahan oleh Tuhan antara dua makhluk baka, karena sebelum dosa masuk ke dunia tubuh mereka belum tunduk kepada kematian. Dia menjadikan mereka bersatu, bukan saja untuk waktu itu, bukan hanya untuk suatu periode terbatas; mereka akan menjadi satu di sepanjang zaman yang kekal …. Kematian bagi mereka bukanlah berarti perceraian; itu hanya perpisahan sementara. Kebangkitan kepada kebakaan bagi mereka adalah persatuan kembali dan ikatan kekal tidak akan pernah diputuskan. “Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” (1 Korintus 15:22).
Jika Anda telah mengikuti penjelasan mengenai pernikahan pertama ini dengan seksama, Anda siap memahami wahyu berikut yang diberikan kepada Gereja di angkatan kita:
“Bila seorang laki-laki mengawini seorang istri dengan firman-Ku yang menjadi hukum-Ku serta dengan perjanjian yang baru dan kekal, dan dimetraikan ke atas mereka oleh Roh Kudus perjanjian, oleh orang yang telah diurapi dan yang telah Aku tetapkan memegang kuasa dan kunci-kunci keimamatan ini …, hal itu akan dilakukan kepada mereka dalam segala apa pun yang dilakukan oleh para hamba-Ku terhadap mereka, pada waktu ini dan melalui segala kekekalan; dan akan mempunyai kekuatan penuh bila mereka keluar dunia; dan mereka akan dapat melalui para malaikat, para allah yang ditempatkan di sana, demi segala kebahagiaan dan kemuliaan mereka, sebagaimana yang telah dimeteraikan ke atas kepala mereka” (Ajaran dan Perjanjian 132:19) ….
Pernikahan untuk waktu ini dan melalui kekekalan adalah pintu gerbang yang lurus dan jalan yang sempit (diucapkan dalam tulisan suci) “jalan yang menuju permuliaan dan kelangsungan kehidupan, dan hanya sedikit yang menemukannya,” tetapi “luaslah lorong dan lebarlah jalan yang menuju kematian; dan banyaklah yang masuk ke dalamnya.” (Ajaran dan Perjanjian 132:22, 25). Jika Setan dan pengikutnya dapat membujuk Anda untuk mengambil jalan luas dalam pernikahan duniawi yang berakhir dengan kematian, berarti dia telah mengalahkan Anda dalam kesempatan Anda untuk memperoleh tingkat kebahagiaan kekal yang tertinggi melalui pernikahan dan peningkatan di sepanjang kekekalan. Kini alasannya seharusnya sudah jelas bagi Anda mengapa Tuhan menyatakan bahwa untuk memperoleh tingkat kemuliaan Selestial tertinggi, seseorang harus masuk ke dalam perjanjian pernikahan yang baru dan kekal. Jika tidak, dia tidak dapat memperolehnya (Ajaran dan Perjanjian 131:1–3).2
Mereka yang menjadikan diri mereka layak dan masuk ke dalam perjanjian pernikahan yang baru dan kekal di bait suci untuk waktu ini dan melalui segala kekekalan akan meletakkan batu penjuru mereka yang pertama bagi rumah keluarga kekal dalam kerajaan selestial yang akan bertahan untuk selama-lamanya. Ganjaran yang akan mereka peroleh “akan ditambahkan kemuliaan ke atas kepala mereka untuk selama-lamanya” (lihat Abraham 3:26).3
Apakah yang dapat dilakukan para suami dan istri untuk memperkuat pernikahan bait suci mereka di sepanjang kehidupan mereka? Jika [orang-orang muda] mau bertekad sejak saat pernikahan mereka, bahwa mulai saat itu mereka akan bertekad dan berusaha dengan segenap kekuatan mereka untuk saling menyenangkan satu sama lain dalam hal-hal yang benar, bahkan bersedia mengorbankan kesenangan mereka sendiri, selera mereka sendiri, keinginan mereka sendiri, maka masalah penyesuaian diri dalam kehidupan pernikahan akan berjalan lancar, dan rumah mereka benar-benar akan menjadi rumah yang bahagia. Kasih yang besar akan terbina di atas landasan pengorbanan besar, dan rumah itu dimana asas pengorbanan bagi kesejahteraan satu sama lain diungkapkan setiap hari adalah rumah tempat bersemayam kasih yang besar.4
Di hadapan terbentang sukacita yang lebih besar dan, tentu saja, kekhawatiran yang lebih besar pula daripada yang Anda ketahui, karena ingatlah bahwa kasih yang besar dibangun berdasarkan pengorbanan besar dan bahwa tekad setiap hari dari masing-masing pasangan untuk saling menyenangkan dalam hal-hal yang benar akan membangun landasan rumah bahagia yang kuat. Tekad untuk memperoleh kesejahteraan haruslah dilakukan secara bersama dan bukan dari satu pihak saja atau untuk kepentingan pribadi. Suami dan istri haruslah merasa memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang setara untuk saling mengajar. Dua dari hal-hal yang kini menyerang ketenteraman rumah modern adalah bahwa para suami tidak pernah merasa memiliki kewajiban mereka yang penuh dalam mendukung keluarga, dan para istri yang masih muda mengesampingkan tanggung jawab untuk tinggal di rumah melakukan tugas serius membesarkan keluarga dan membuat keluarga berhasil.5
Pernikahan penuh dengan kebahagiaan tertinggi namun disertai dengan tanggung jawab-tanggung jawab terbesar yang dapat beralih kepada pria dan wanita di dalam kehidupan fana ini. Dorongan ilahi yang ada dalam setiap pria dan wanita yang sejati yang mendorong adanya hubungan dengan lawan jenis dimaksudkan oleh Pencipta kita sebagai dorongan kudus bagi tujuan yang kudus bukan sekadar digunakan sebagai pemuasan terhadap dorongan biologis atau sebagai nafsu daging dalam hubungan dengan sembarang orang, tetapi harus diperuntukkan sebagai ungkapan kasih sejati dalam hubungan kudus pernikahan.6
Saya telah berulang kali mengatakan kepada pasangan muda di mezbah pernikahan: Jangan sekali-kali membiarkan hubungan intim lembut dalam kehidupan pernikahan Anda menjadi tak terkendali. Biarlah pikiran Anda menjadi bersinar seperti sinar matahari. Biarlah Anda mengucapkan kata-kata yang sehat dan memiliki hubungan yang mengilhami dan meningkatkan rohani, jika Anda ingin mempertahankan agar semangat percintaan Anda tetap hidup di sepanjang pernikahan Anda.7
Kadang-kadang, sewaktu kami mengadakan perjalanan ke seluruh Gereja, pasangan suami dan istri datang kepada kami dan menanyakan, karena mereka tidak cocok dalam pernikahan mereka—padahal mereka telah menikah di bait suci tidakkah lebih baik bagi mereka untuk bercerai dan mencari pasangan yang lebih cocok. Kepada mereka kami mengatakan, setiap kali pasangan yang telah menikah di bait suci mengatakan bahwa mereka sudah jemu terhadap satu sama lain, itu menunjukkan bahwa salah satu pihak atau keduanya telah bersikap tidak setia terhadap perjanjian bait suci mereka. Setiap pasangan yang telah menikah di bait suci, yang setia terhadap perjanjian-perjanjian mereka akan lebih menyayangi satu sama lain, dan kasih akan memiliki makna yang lebih dalam pada hari ulang tahun ke-50 pernikahan mereka daripada pada hari ketika mereka menikah di rumah Tuhan. Janganlah Anda keliru mengenai hal itu.8
Mereka yang pergi ke mezbah pernikahan dengan kasih di dalam hati mereka, kita dapat mengatakan kepada mereka dengan tulus, jika mereka mau setia terhadap perjanjian-perjanjian yang mereka buat di bait suci, lima puluh tahun setelah pernikahan mereka, mereka dapat mengatakan kepada satu sama lain: “Sewaktu kita menikah kita tidak mengetahui apa makna sesungguhnya kasih sejati itu, karena sekarang kita lebih memikirkan mengenai satu sama lain!” Maka akan demikianlah jadinya jika mereka mau mengikuti nasihat para pemimpin mereka dan mematuhi petunjuk-petunjuk kudus yang diberikan dalam upacara bait suci; mereka akan tumbuh lebih sempurna dalam kasih bahkan sampai kepada kasih yang penuh di hadirat Tuhan Sendiri.9
Kesalahan dan kegagalan-kegagalan dan kedangkalan daya tarik jasmani tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kemurnian karakter baik yang bertahan dan tumbuh lebih indah di tahun-tahun perkawinan. Anda, juga, dapat menjalani kehidupan dalam pesona keluarga yang bahagia setelah Anda tidak lagi muda jika saja Anda mau berusaha memperoleh sifat yang berkualitas murni terhadap satu sama lain yang hanya membutuhkan sentuhan keberhasilan dan kegagalan, penderitaan dan kebahagiaan untuk mendatangkan kilauan dan cahaya yang akan bersinar dengan cemerlang bahkan di tengah-tengah malam yang paling kelam pun.10
Nasihat apakah yang diberikan kepada mereka yang sekarang tidak memiliki pernikahan kekal? Ada di antara Anda yang sekarang tidak memiliki pasangan dalam rumah Anda. Ada di antara Anda yang telah kehilangan istri atau suami atau mungkin Anda belum mendapatkan seorang pasangan. Di antara masyarakat Anda terdapat para anggota Gereja yang paling mulia—setia, berani, berusaha menjalankan perintah-perintah Tuhan, untuk membantu membangun kerajaan di bumi, dan untuk melayani sesama Anda
Ada begitu banyak hal yang dapat Anda lakukan dalam kehidupan Anda. Himpunlah kekuatan dalam menghadapi tantangan-tantangan Anda. Ada begitu banyak cara untuk memperoleh kepuasan, dalam melayani mereka yang Anda sayangi, dalam melakukan tugas-tugas dengan baik yang ada di tempat pekerjaan Anda maupun di rumah. Gereja menawarkan begitu banyak kesempatan bagi Anda untuk menolong jiwa-jiwa, mulai dari diri Anda sendiri, untuk memperoleh sukacita kehidupan kekal.
Jangan biarkan perasaan mengasihani diri sendiri atau kekecewaan mengacaukan Anda dari arah yang Anda tahu adalah benar. Balikkanlah pikiran Anda untuk menolong orang lain. Bagi Anda perkataan Tuhan memiliki makna khusus: “Barang siapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku,dia akan memperolehnya” (Matius 10:39).11
Tuhan menghakimi kita bukan hanya melalui perbuatan kita tetapi juga melalui niat hati kita …. Oleh karena itu, [wanita] yang tidak memiliki berkat-berkat sebagai istri atau sebagai ibu di dalam kehidupan ini—yang mengatakan di dalam hatinya, seandainya saja saya dapat melakukannya, saya akan melakukannya, atau saya akan memberikan seandainya saya memilikinya, tetapi saya tidak dapat memberikannya karena saya tidak memilikinya—Tuhan akan memberkati Anda seolah-olah Anda telah melakukannya, dan dunia yang akan datang akan menggantikan bagi orang-orang yang menginginkan di dalam hatinya berkat-berkat kebenaran yang tidak dapat mereka miliki karena bukan kesalahan mereka sendiri.12
Anda para istri yang merindukan suami untuk aktif di Gereja, yang ingin agar mereka berada di sini hari ini bukannya kegetiran yang ada di dalam hati mereka, bertanya-tanya apa yang dapat Anda lakukan agar di suatu hari kelak …. Anda dapat berada bersama mereka di bait suci Allah kita. Dan Anda para suami yang ingin agar istri Anda berada bersama Anda sekarang. Kami mengatakan kepada Anda bahwa jika Anda mau setia terhadap kepercayaan Anda, Anda akan mengasihi suami Anda dan mengasihi istri Anda, dan jika Anda senantiasa berdoa pada malam dan pagi hari, siang dan malam, maka akan datang kuasa kepada Anda para anggota Gereja melalui kuasa Roh Kudus, yang berhak Anda miliki karena Anda telah dibaptis dan setia. Semoga dengan kuasa itu dapat mendatangkan kepada Anda kemampuan untuk mengatasi pertentangan di dalam diri pasangan Anda dan menuntun mereka lebih dekat kepada iman.13
Ada di antara Anda yang mungkin memutuskan untuk menikah di luar Gereja dengan harapan tersembunyi dapat mempertobatkan pasangan Anda kepada agama yang Anda anut. Kemungkin Anda memperoleh kebahagiaan di dalam kehidupan pernikahan Anda akan jauh lebih besar jika Anda mengusahakan pertobatan tersebut sebelum Anda menikah.14
Apakah yang dapat kita lakukan untuk menolong remaja memahami berkat-berkat pernikahan bait suci dan mempersiapkan diri untuk pernikahan tersebut? Tentu saja, efektifitas rumah tangga Orang Suci Zaman Akhir terletak pada cara pernikahan rumah tangga tersebut dilaksanakan. Pernikahan yang dilaksanakan hanya untuk di bumi ini dan sekarang tentu saja akan lebih mengutamakan dunia ini. Pernikahan untuk kekekalan akan memiliki perspektif dan landasan yang sama sekali berbeda ….
…. Tentu saja, kita menyadari bahwa hanya pergi ke bait suci tanpa persiapan yang semestinya bagaimanapun juga tidak akan mendatangkan berkat-berkat yang kita cari. Pernikahan kekal didasarkan pada kematangan dan komitmen dimana dengan enodowmen dan tata cara-tata cara dapat membuka pintu-pintu surga bagi banyak berkat yang akan menyertai kita.
…. Pernikahan bait suci lebih dari sekadar tempat dimana upacara dilaksanakan; pernikahan bait suci adalah orientasi keseluruhan dari kehidupan dan pernikahan dan rumah tangga. Pernikahan bait suci adalah puncak dari pembinaan sikap ke arah Gereja, kesusilaan, dan hubungan pribadi kita dengan Allah dan banyak hal lainnya. Oleh karena itu, hanya mengkhotbahkan tentang pernikahan bait suci tidaklah cukup. Malam keluarga, seminari, institut dan organisasi pelengkap kita harus membangun ke arah tujuan ini bukan hanya melalui nasihat tetapi dengan memperlihatkan bahwa kepercayaan dan sikap yang terlibat dalam pernikahan bait suci adalah kepercayaan dan sikap yang dapat mendatangkan jenis kehidupan di sini dan di kekekalan yang paling diinginkan oleh manusia itu sendiri. Jika dilakukan dengan benar, kita dapat memperlihatkan perbedaan antara “yang kudus dengan yang tidak kudus” [lihat Yehezkiel _ agar naluri-naluri alami yang kuat sebagai ibu adalah yang menentukan dalam diri pemudi yang ragu-ragu membedakan antara naluri-naluri yang kudus itu dengan arah yang mementingkan kesenangan belaka. Dengan penilaian yang benar dan disertai dengan upaya pendidikan, kita dapat memperlihatkan kepada pemuda bahwa jalan dunia—betapa pun jalan itu dapat membuat mereka menjadi glamor dan tanpa memandang betapapun cerdas mereka kelihatannya adalah jalan menuju kesedihan; itu adalah jalan yang pada akhirnya akan menghalangi keinginan mendalam mereka untuk memiliki rumah tangga sendiri dan sukacita menjadi ayah.15
Meskipun semua masalah kehidupan tidak akan diselesaikan dengan suatu pernikahan bait suci, namun, tentu saja, bagi semua yang masuk bait suci dengan layak, bait suci itu akan menjadi tempat keselamatan dan sauh bagi jiwa itu ketika badai-badai kehidupan melanda dengan dahsyat ….
Kehidupan saya sendiri kaya dengan pengalaman, karena hampir dua puluh tahun, dihibur setiap akhir pekan di beberapa rumah tangga paling berhasil di Gereja, dan, sebaliknya, hampir setiap minggu saya berkesempatan untuk melihat sekilas ke beberapa rumah tangga yang tidak bahagia. Dari pengalaman-pengalaman ini saya dapat menarik beberapa kesimpulan yang tegas: Pertama, rumah tangga yang paling bahagia adalah rumah tangga dimana orang tua telah dinikahkan di bait suci. Kedua, pernikahan bait suci adalah paling bahagia jika suami dan istri mengikat diri mereka dalam ikatan tata cara kudus bait suci dalam keadaan tubuh, pikiran, dan hati yang bersih dan murni. Ketiga, pernikahan bait suci adalah paling kudus ketika masing-masing dalam kemitraan telah dididik secara bijaksana mengenai tujuan endowmen kudus dan mengenai kewajiban-kewajiban sebagai suami dan istri sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diterima di bait suci. Keempat, orang tua yang menganggap enteng perjanjian-perjanjian bait suci mereka, tidak dapat berharap banyak dari anak-anak mereka karena contoh buruk mereka.
Di zaman sekarang, mode, kepura-puraan, dan glamor dunia telah sangat merusak konsep-konsep kudus rumah tangga dan pernikahan, dan, bahkan upacara pernikahan itu sendiri. Diberkatilah ibu yang bijaksana, yang melukis potret hidup untuk putrinya mengenai pemandangan kudus sepasang pengantin muda yang sedang berpegangan tangan di mezbah kudus di ruangan pemeteraian yang sangat indah dan surgawi dimana ruangan itu tertutup dari segala hal yang duniawi, dan dihadiri oleh orang tua dan teman-teman dekat keluarga. Saya bersyukur kepada Allah atas ibu itu, yang memperlihatkan kepada putrinya bahwa di sini, surga yang paling dekat dengan bumi, hati bersatu dengan hati, dalam keadaan saling mengasihi yang diawali dengan kesatuan yang tahan menghadapi kesulitan, hati yang hancur, atau kekecewaan, dan memberikan dorongan terbesar untuk memperoleh prestasi tertinggi dalam kehidupan!16
Semoga Allah memberkati rumah tangga para Orang Suci Zaman Akhir dan semoga mereka memiliki kebahagiaan di sini dan landasan bagi permuliaan di kerajaan selestial di dunia yang akan datang.17
Saran-saran untuk Pembelajaran dan Pembahasan Apakah yang dapat dilakukan pasangan yang telah menikah untuk menjaga agar perjanjian-perjanjian pernikahan kekal mereka prioritas utama dalam kehidupan mereka sehari-hari?
Bagimanakah menikah untuk kekekalan seharusnya mempengaruhi caramasing-masing pasangan memperlakukan satu sama lain dan memperlakukananak-anak mereka? Bagaimanakah kita dapat mengajarkan pentingnya pernikahan kekal kepada anak-anak kita?
Mengapa “kasih yang besar … dibangun berdasarkan pengorbanan besar”? Bagaimanakah sikap tidak mementingkan diri memperkuat pernikahan?
Apakah yang dapat dilakukan oleh mereka yang pasangannya tidak aktif di Gereja untuk memperkuat pernikahan mereka? Bagaimanakah mereka yang sekarang belum menikah dapat mengisi kehidupan mereka dengan ungkapan kasih ilahi dan pengorbanan?
Apakah maknanya bagi Anda menjadi “pasangan yang seimbang” dalam pernikahan?
Bagaimanakah pasangan pernikahan dapat “tumbuh lebih sempurna dalam kasih bahkan sampai kepada kasih yang penuh di hadirat Tuhan”?
|
|
admin™
AdminKandang™
BossMung kandang kamben
Hello Hello Hello Goodbye
Posts: 13,619
|
Post by admin™ on Jul 12, 2019 10:32:55 GMT -5
Mar 13, 2019 at 7:56pm Post by LeeSeungPitt™ on Mar 13, 2019 at 7:56pm
untuk menikah pilihlah pasangan anda
1. Yang takut sama Allah 2. yang taat pada agamanya... 3. Yang taat kepada orang tuanya
kerana apabila mereka takut kepada Allah mereka tidak akan curang, bertanggungjawab dan penyayang juga menghormati pasangan kerana mata Allah itu ada dimana mana. Kesetiaan itu penting walau siapa pun pasangan kita.
2. Yang taat pada agamanya tak kira apa agamanya mereka tidak akan membuat onar kerana mereka memiliki pegangan agama yang kuat ..
3. Apabila taat kepada orang tua, hidup akan lebih barakah kerana tanpa orang tua akan tiadalah kita. Tapi cinta itu akan datang dan pergi sesuka hati untuk hati hati yang mudah berpindah. Dan pada hati hati yang suka menganggu hubungan orang lain tanpa ada hukum moral.
|
|