Post by si-pugut on Apr 15, 2018 6:55:25 GMT -5
Racun mematikan tanpa sakit
July 28, 2011 at 2:55am
Dua hari dua malam, yang kurasakan hanya ngeri di kamarku. Puisimu berhala sayang. Berkali-kali sudah aku mencari makna arti puisimu namun kepergianmu benar-benar meninggalkan malam yang tak berkesudahan, menunggu puisimu menjadi bom dengan pemantik yang membuatku gila, yah, puisimu penuh dengan titik-titik yang membuatku tersesat.
Dan� gerangan apa hingga kau berlaku kejam meninggalkanku, bukankah aku juga yang dulu kau panggil dengan sebutan cinta. Katamu ; Tak cukup waktu aku berdebat alasan, bila kau ingin carilah saja dalam
yang dulu mengendap dalam hujan, basah kuyup untuk sekedar mengucap rindu, bukankah itu kau. Tapi itu dulDua hari dua malam, yang kurasakan hanya ngeri di kamarku.
Puisimu berhala sayang. Berkali-kali sudah aku mencari makna arti puisimu namun kepergianmu benar-benar meninggalkan malam yang tak berkesudahan, menunggu puisimu menjadi bom dengan pemantik yang membuatku gila, yah, puisimu penuh dengan titik-titik yang membuatku tersesat. Dan� gerangan apa hingga kau berlaku kejam meninggalkanku, bukankah aku juga yang dulu kau panggil dengan sebutan cinta. Katamu ; Tak cukup waktu aku berdebat alasan, bila kau ingin carilah saja dalam puisiku.
Itulah kata dari bibirmu yang Indah. Tak cukup waktu. Baiklah, siapa yang dulu mengendap dalam hujan, basah kuyup untuk sekedar mengucap rindu, bukankah itu kau. Tapi itu dulu, saat ada cinta bukan? Peluhku semakin tak terhitung. Bagaimana bisa kutemukan alasanmu dari puisi yang kau penuhi dengan busana titik-titik. Harus adakah bagian yang kutanggalkan, atau sedikit menambahkan. Kuseka rambutku yang mulai kusam bercampur keringat malam. ini sudah malam, malam sekali.
Tetangga sebelah mungkin sedang beraksi, karena malam yang dingin seperti ini biasanya digunakan beradu argumentasi dengan suara-suara aneh, teriakan, lenguhan, Lalu bunyi derit timba sumur memecahkan konsentrasiku untuk melucuti puisimu. Aku tersiksa dalam tiga keadaan .Akhirnya apalah dayaku, puisimu benar-benar menyesatkan. Sel darahku mendidih menjadi serpihan-serpihan asap hingga aku tenggelam pada sebuah bantal menirukan wanita-wanita cengeng, aku menangis, telah kujadikan lautan air mata di atas bantal yang pernah kita tiduri bersama. Sungguh, aku tak mengerti puisimu, semuanya berserakan dikamar ini, serpihan-serpihan hatiku, kenangan, hingga akalku tercecer
entah kemana dan di kepalaku hanya bersarang kutu-kutu liar mengingatkanku pada sebuah tiket perjalanan menuju kota kematian.
"Aku mencari racun mematikan tanpa rasa sakit."Lelaki tua itu tersenyum dan bergegas menghampiriku. "Aku hanya punya baygon, racun serangga dan beberapa tali jemuran."
"Aku tak mau, itu semua masih menyakitkan," jawabku.
"Atau kau sebenarnya hanya butuh pil penenang, tokoku serba ada, mulai kitab suci, wanita, pistol, granat, minuman keras, dan tokoku juga menyediakan pil koplo," lelaki itu menawarkan satu persatu kepadaku.
Dia dan tokonya benar-benar hebat. Semua tersedia membaur dalam satu. Tak perduli aturan, itulah mengapa kota yang baru kutempati sepuluh tahun ini begitu banyak di kunjungi orang, toserba lelaki tua itu, toko yang lengkap alasan yang tepat kenapa kota ini masih berdenyut hingga sekarang, pajak mereka terbesar dan kota ini besar karena pajak mereka. Maka tak heran bila kapan saja akan ada berita kematian.
Orang-orang akan lebih mudah untuk saling membunuh, kamar hotel tak pernah kosong dengan peristiwa over dosis, atau kondom murahan menyebabkan orok-orok bergentayangan, semuanya murahan ; mati di kota ini sangat murah, tak ada pajak yang menanggungnya.Banyak sudah kematian yang kucatat di kota ini, anak-anak mati karena hidup dalam fantasi. Di gang-gang anak tumbuh dengan senjata tajam, pistol rakitan, mereka membunuh lawan-lawan yang mereka ciptakan sendiri.
"Kawasan ini milik kami, daerah kekuasan para jagoan, enyah kau sekarang, kalau tidak, mari kita buktikan." Peristiwa demi peristiwa menjadi saksi sejarah bagi tiap-tiap kepentingan dan tragisnya ada orang mati karena lapar di kota besar, pajak besar diantara perut-perut besar dan sebentar lagi, itu kematianku, siapa yang akan mencatatnya, tak ada lagi, karena kematian di kota ini sudah biasa.
"Bagaimana, heh ? Tuliskan apa yang kau butuhkan, tapi jangan racun yang kau sebutkan tadi," lelaki itu menyodorkan secarik kertas dengan ballpoint yang meliuk seperti goyang Inul.
"Sudahlah�kalau kau tak punya, aku pergi saja."
Lelaki tua itu memalingkan tubuhnya, "Bodoh benar kau anak muda. Mati itu soal gampang, tapi semua racun pastilah menyakitkan."
Aku tak perduli dengan ucapannya. Bagaimanapun yang kubutuhkan adalah mati dengan tenang. Tak mungkin racun sejenis itu tak ada. "Begini saja kek, aku hanya butuh racun itu. Sediakan saja bila kau punya."
"Kamu memang orang aneh, ingin mati tapi masih juga takut sakit. Kalau orang sepertimu banyak di kota ini, bisa jadi racunku tak ada yang laku," dengan kesal lelaki itu mengusap rambutnya yang tinggal beberapa helai.
"Kau penjual, Kek. Seharusnya kau lebih jenius melihat perkembangan pasar. Sekarang banyak orang menghalalkan segala cara demi kemudahan hidupnya. Akupun juga begitu, tapi yang kubutuhkan bagaimana caranya mudah untuk mati."
"Hei, anak muda. Jangan kau ajari aku tentang teori pasar. Mulai setebal-tebalnya buku sudah kulahap semua, bahkan ilmu orang Cina pun sudah kuserap sampai ke liang lahat. Masalahnya hanya pada racun yang kau minta, kau pengecut, itulah yang sebenarnya memperlambat proses
kematianmu."
"Jangan kau sebut aku pengecut dan aku tak butuh ceramah orang sepertimu," kuhempaskan tangan di meja kaca toko itu. Lelaki tua langsung terdiam, lebih pelan dia mengatakan sesuatu kepadaku.
"Sungguhkah kau ingin mati?"
"Ya�"
"Baiklah, perlu sebuah syarat agar mati itu lebih mudah. Jangan lagi kau sebut racun mematikan tanpa rasa sakit, buang semua embel-embel itu. Cukup kau sebut "racun" maka kau akan segera menemui kematianmu?"
"Tak sedikitpun menyakitiku?"
"Ya, sedikitpun tidak. Bahkan racun itu lebih nikmat ketimbang orgasme sekalipun," lelaki itu tersenyum ketika aku mulai membayangkan semua ucapannya. Mati�.
Manja matahari tersenyum pada senja. Aku sudah mulai tak sabar untuk mendapatkan racun itu. Entah pada hitungan keberapa, lubang-lubang jalanan kota ini mulai nampak akrab dengan langkahku. Lubang-lubang yang semakin hari kian melebar dan entah berapa banyak sudah orangyang terperosok di dalamnya. Aku tak perduli, di kota ini sudah biasa dengan lubang-lubang bahkan ada saja yang histeris tanpa lubang-lubang. Pada langkah berikutnya, tepat di persimpangan yang di apit gedung-gedung besar, toko lelaki tua itu mulai nampak di hadapan.
Ketidaksabaranku beranak pinak agar membawaku segera sampai pada toko itu, biarpun masih sore, setidaknya aku bisa tenang menunggu malam ditokonya.
"Astagaa�.!" aku sungguh heran, kini yang berdiri di hadapanku bukanlah lelaki tua itu tapi seorang wanita muda dengan gaun tipis yang menggoda. Apakah dia salah satu piaraan lelaki tua itu atau
sebaliknya lelaki tua itu di pelihara olehnya. Tak mungkin, dia begitu aduhai untuk sekelas pelacur, tapi mungkin saja karena pelacur juga manusia yang tidak memiliki kartu identitas, akh, mungkin saja.
"Siapa kau hingga berada di toko lelaki tua ini?"
"Apa maksudmu, tampan. Toko ini adalah kepunyaanku, bila kau butuh sesuatu kau bisa menundanya sampai besok karena aku harus segera tutup."
"Lalu di mana lelaki tua yang kutemui tadi malam di toko ini?" Wanita muda itu memandangiku, bibirnya tersenyum melengkapi sorot matanya yang tajam.
"Aku tak mengerti dengan maksudmu, mungkin kau salah orang."
"Tidak, aku jelas-jelas menemuinya di sini tadi malam dan kenapa barang-barang ini ada di sini?'
Aku mulai memperhatikan satu persatu barang-barang yang disiapkan untuk perlengkapan kematian. Ada kain kafan, kembang aneka rupa, dupa, kemenyan bahkan juga nisan. Aku gemetar menyaksikan itu semua apalagi
senyumnya kali ini sungguh membuat kudukku merinding.
"Apakah yang kau jual semuanya seperti ini?"
"Ya�dan aku mengambil keuntungan dari setiap kematian. Apakah kau juga ingin mati?"
"Mak..maksudmu, apa?"
Tiba-tiba saja dia tertawa keras sekali. Aku berbalik takut, urat-uratku seakan tak lagi berfungsi dengan sempurna. Seandainya bisa, aku ingin lari saja tapi nyaliku tak sanggup berbuat itu.</p><p>
"Tidak�tidak, aku tidak ingin mati."
"Jangan takut, tampan. Bukan aku yang akan membunuhmu karena aku hanya menjual persiapan alat-alat kematian dan orang-orang sepertimu adalah bagian termudah untuk mendapatkan keuntungan."
"Kenapa�kenapa harus aku yang kau pilih?"
"Karena kau yang menginginkannya, bukan�"
"Tapi kau siapa dan aku tidak membayangkan akan terjadi seperti ini?"
Matahari tinggal sepenggalah, dari keremangan cahaya, tawanya melemaskan urat-urat persendianku. Perempuan muda itu berulangkali menghardikku. "
Kau sebenarnya tolol atau bukan, setiap orang yang</p><p>ingin mati sepertimu selalu tidak pernah membayangkan apapun. Mati hanyalah tinggal mati, tapi kau terlalu cerewet untuk itu semua.
Sekarang apalagi yang kau pikirkan?"
Aku tak mengerti arti semua ini. Badanku lemas, selalu ada yang ingin kuucapkan, entah apa, tapi juga masih ada yang ingin kusebut, tapi juga apa. Tolonnng�tolonnng, jalanan lengang, semua orang tak lagi dapat di pandang, siapa itu, siapa itu, kenapa mereka menjauhiku, kenapa mereka tertawa, kenapa, kenapa�yah..yah itu, bukan, bukan aku yang menyebut, bukan, bukan aku yang mengucap, suara itu bergema, suara itu nyaring, suara itu merdu, dan..dan kenapa aku begitu saja mengikuti suara itu, tolong aku, tolong�mendengarkah kau dengan suaraku, sudah tak ada perlu lagikah tolong, tapi kumohon, khh..hh, napasku sesak, Tolooooooooggkhkh, suara merdu itu semakin nyaring mengalahkan teriakanku
Kabarnya aku pingsan di sebuah lorong kota, tapi aku tak ingat siapa yang membawaku ke rumah sakit jiwa, lalu suster itu bertanya, "Apakah anda berhasrat sekali menjadi seorang Muadzin?" Aku baru tahu kenapa dia bertanya seperti itu, dia mengatakan selama beberapa hari aku menginap di Rumah Sakit Jiwa, setiap menjelang senja aku pasti selalu mengumandangkan adzan. Aku tidak gila, aku hanya menirukan suara yang kudengar saat itu, saat senja, saat aku butuh pertolongan dan entah kenapa juga aku masih bisa mengingatnya. Nah..nah itu dia, itu, suara itu, suara yang sama pernah aku dengar�dan suster itu menggelengkan kepalanya melihat tingkahku mencari asal suara itu.
"Mari suster sama-sama kita dekati suara itu dan jika boleh aku mengenal namamu untuk menghapus nama yang lain." Suster itu mengikuti langkahku dengan tawa yang rapuh.
Banjarbaru, 2004.
cerpen oleh Hairi Insani Putra
July 28, 2011 at 2:55am
Dua hari dua malam, yang kurasakan hanya ngeri di kamarku. Puisimu berhala sayang. Berkali-kali sudah aku mencari makna arti puisimu namun kepergianmu benar-benar meninggalkan malam yang tak berkesudahan, menunggu puisimu menjadi bom dengan pemantik yang membuatku gila, yah, puisimu penuh dengan titik-titik yang membuatku tersesat.
Dan� gerangan apa hingga kau berlaku kejam meninggalkanku, bukankah aku juga yang dulu kau panggil dengan sebutan cinta. Katamu ; Tak cukup waktu aku berdebat alasan, bila kau ingin carilah saja dalam
yang dulu mengendap dalam hujan, basah kuyup untuk sekedar mengucap rindu, bukankah itu kau. Tapi itu dulDua hari dua malam, yang kurasakan hanya ngeri di kamarku.
Puisimu berhala sayang. Berkali-kali sudah aku mencari makna arti puisimu namun kepergianmu benar-benar meninggalkan malam yang tak berkesudahan, menunggu puisimu menjadi bom dengan pemantik yang membuatku gila, yah, puisimu penuh dengan titik-titik yang membuatku tersesat. Dan� gerangan apa hingga kau berlaku kejam meninggalkanku, bukankah aku juga yang dulu kau panggil dengan sebutan cinta. Katamu ; Tak cukup waktu aku berdebat alasan, bila kau ingin carilah saja dalam puisiku.
Itulah kata dari bibirmu yang Indah. Tak cukup waktu. Baiklah, siapa yang dulu mengendap dalam hujan, basah kuyup untuk sekedar mengucap rindu, bukankah itu kau. Tapi itu dulu, saat ada cinta bukan? Peluhku semakin tak terhitung. Bagaimana bisa kutemukan alasanmu dari puisi yang kau penuhi dengan busana titik-titik. Harus adakah bagian yang kutanggalkan, atau sedikit menambahkan. Kuseka rambutku yang mulai kusam bercampur keringat malam. ini sudah malam, malam sekali.
Tetangga sebelah mungkin sedang beraksi, karena malam yang dingin seperti ini biasanya digunakan beradu argumentasi dengan suara-suara aneh, teriakan, lenguhan, Lalu bunyi derit timba sumur memecahkan konsentrasiku untuk melucuti puisimu. Aku tersiksa dalam tiga keadaan .Akhirnya apalah dayaku, puisimu benar-benar menyesatkan. Sel darahku mendidih menjadi serpihan-serpihan asap hingga aku tenggelam pada sebuah bantal menirukan wanita-wanita cengeng, aku menangis, telah kujadikan lautan air mata di atas bantal yang pernah kita tiduri bersama. Sungguh, aku tak mengerti puisimu, semuanya berserakan dikamar ini, serpihan-serpihan hatiku, kenangan, hingga akalku tercecer
entah kemana dan di kepalaku hanya bersarang kutu-kutu liar mengingatkanku pada sebuah tiket perjalanan menuju kota kematian.
"Aku mencari racun mematikan tanpa rasa sakit."Lelaki tua itu tersenyum dan bergegas menghampiriku. "Aku hanya punya baygon, racun serangga dan beberapa tali jemuran."
"Aku tak mau, itu semua masih menyakitkan," jawabku.
"Atau kau sebenarnya hanya butuh pil penenang, tokoku serba ada, mulai kitab suci, wanita, pistol, granat, minuman keras, dan tokoku juga menyediakan pil koplo," lelaki itu menawarkan satu persatu kepadaku.
Dia dan tokonya benar-benar hebat. Semua tersedia membaur dalam satu. Tak perduli aturan, itulah mengapa kota yang baru kutempati sepuluh tahun ini begitu banyak di kunjungi orang, toserba lelaki tua itu, toko yang lengkap alasan yang tepat kenapa kota ini masih berdenyut hingga sekarang, pajak mereka terbesar dan kota ini besar karena pajak mereka. Maka tak heran bila kapan saja akan ada berita kematian.
Orang-orang akan lebih mudah untuk saling membunuh, kamar hotel tak pernah kosong dengan peristiwa over dosis, atau kondom murahan menyebabkan orok-orok bergentayangan, semuanya murahan ; mati di kota ini sangat murah, tak ada pajak yang menanggungnya.Banyak sudah kematian yang kucatat di kota ini, anak-anak mati karena hidup dalam fantasi. Di gang-gang anak tumbuh dengan senjata tajam, pistol rakitan, mereka membunuh lawan-lawan yang mereka ciptakan sendiri.
"Kawasan ini milik kami, daerah kekuasan para jagoan, enyah kau sekarang, kalau tidak, mari kita buktikan." Peristiwa demi peristiwa menjadi saksi sejarah bagi tiap-tiap kepentingan dan tragisnya ada orang mati karena lapar di kota besar, pajak besar diantara perut-perut besar dan sebentar lagi, itu kematianku, siapa yang akan mencatatnya, tak ada lagi, karena kematian di kota ini sudah biasa.
"Bagaimana, heh ? Tuliskan apa yang kau butuhkan, tapi jangan racun yang kau sebutkan tadi," lelaki itu menyodorkan secarik kertas dengan ballpoint yang meliuk seperti goyang Inul.
"Sudahlah�kalau kau tak punya, aku pergi saja."
Lelaki tua itu memalingkan tubuhnya, "Bodoh benar kau anak muda. Mati itu soal gampang, tapi semua racun pastilah menyakitkan."
Aku tak perduli dengan ucapannya. Bagaimanapun yang kubutuhkan adalah mati dengan tenang. Tak mungkin racun sejenis itu tak ada. "Begini saja kek, aku hanya butuh racun itu. Sediakan saja bila kau punya."
"Kamu memang orang aneh, ingin mati tapi masih juga takut sakit. Kalau orang sepertimu banyak di kota ini, bisa jadi racunku tak ada yang laku," dengan kesal lelaki itu mengusap rambutnya yang tinggal beberapa helai.
"Kau penjual, Kek. Seharusnya kau lebih jenius melihat perkembangan pasar. Sekarang banyak orang menghalalkan segala cara demi kemudahan hidupnya. Akupun juga begitu, tapi yang kubutuhkan bagaimana caranya mudah untuk mati."
"Hei, anak muda. Jangan kau ajari aku tentang teori pasar. Mulai setebal-tebalnya buku sudah kulahap semua, bahkan ilmu orang Cina pun sudah kuserap sampai ke liang lahat. Masalahnya hanya pada racun yang kau minta, kau pengecut, itulah yang sebenarnya memperlambat proses
kematianmu."
"Jangan kau sebut aku pengecut dan aku tak butuh ceramah orang sepertimu," kuhempaskan tangan di meja kaca toko itu. Lelaki tua langsung terdiam, lebih pelan dia mengatakan sesuatu kepadaku.
"Sungguhkah kau ingin mati?"
"Ya�"
"Baiklah, perlu sebuah syarat agar mati itu lebih mudah. Jangan lagi kau sebut racun mematikan tanpa rasa sakit, buang semua embel-embel itu. Cukup kau sebut "racun" maka kau akan segera menemui kematianmu?"
"Tak sedikitpun menyakitiku?"
"Ya, sedikitpun tidak. Bahkan racun itu lebih nikmat ketimbang orgasme sekalipun," lelaki itu tersenyum ketika aku mulai membayangkan semua ucapannya. Mati�.
Manja matahari tersenyum pada senja. Aku sudah mulai tak sabar untuk mendapatkan racun itu. Entah pada hitungan keberapa, lubang-lubang jalanan kota ini mulai nampak akrab dengan langkahku. Lubang-lubang yang semakin hari kian melebar dan entah berapa banyak sudah orangyang terperosok di dalamnya. Aku tak perduli, di kota ini sudah biasa dengan lubang-lubang bahkan ada saja yang histeris tanpa lubang-lubang. Pada langkah berikutnya, tepat di persimpangan yang di apit gedung-gedung besar, toko lelaki tua itu mulai nampak di hadapan.
Ketidaksabaranku beranak pinak agar membawaku segera sampai pada toko itu, biarpun masih sore, setidaknya aku bisa tenang menunggu malam ditokonya.
"Astagaa�.!" aku sungguh heran, kini yang berdiri di hadapanku bukanlah lelaki tua itu tapi seorang wanita muda dengan gaun tipis yang menggoda. Apakah dia salah satu piaraan lelaki tua itu atau
sebaliknya lelaki tua itu di pelihara olehnya. Tak mungkin, dia begitu aduhai untuk sekelas pelacur, tapi mungkin saja karena pelacur juga manusia yang tidak memiliki kartu identitas, akh, mungkin saja.
"Siapa kau hingga berada di toko lelaki tua ini?"
"Apa maksudmu, tampan. Toko ini adalah kepunyaanku, bila kau butuh sesuatu kau bisa menundanya sampai besok karena aku harus segera tutup."
"Lalu di mana lelaki tua yang kutemui tadi malam di toko ini?" Wanita muda itu memandangiku, bibirnya tersenyum melengkapi sorot matanya yang tajam.
"Aku tak mengerti dengan maksudmu, mungkin kau salah orang."
"Tidak, aku jelas-jelas menemuinya di sini tadi malam dan kenapa barang-barang ini ada di sini?'
Aku mulai memperhatikan satu persatu barang-barang yang disiapkan untuk perlengkapan kematian. Ada kain kafan, kembang aneka rupa, dupa, kemenyan bahkan juga nisan. Aku gemetar menyaksikan itu semua apalagi
senyumnya kali ini sungguh membuat kudukku merinding.
"Apakah yang kau jual semuanya seperti ini?"
"Ya�dan aku mengambil keuntungan dari setiap kematian. Apakah kau juga ingin mati?"
"Mak..maksudmu, apa?"
Tiba-tiba saja dia tertawa keras sekali. Aku berbalik takut, urat-uratku seakan tak lagi berfungsi dengan sempurna. Seandainya bisa, aku ingin lari saja tapi nyaliku tak sanggup berbuat itu.</p><p>
"Tidak�tidak, aku tidak ingin mati."
"Jangan takut, tampan. Bukan aku yang akan membunuhmu karena aku hanya menjual persiapan alat-alat kematian dan orang-orang sepertimu adalah bagian termudah untuk mendapatkan keuntungan."
"Kenapa�kenapa harus aku yang kau pilih?"
"Karena kau yang menginginkannya, bukan�"
"Tapi kau siapa dan aku tidak membayangkan akan terjadi seperti ini?"
Matahari tinggal sepenggalah, dari keremangan cahaya, tawanya melemaskan urat-urat persendianku. Perempuan muda itu berulangkali menghardikku. "
Kau sebenarnya tolol atau bukan, setiap orang yang</p><p>ingin mati sepertimu selalu tidak pernah membayangkan apapun. Mati hanyalah tinggal mati, tapi kau terlalu cerewet untuk itu semua.
Sekarang apalagi yang kau pikirkan?"
Aku tak mengerti arti semua ini. Badanku lemas, selalu ada yang ingin kuucapkan, entah apa, tapi juga masih ada yang ingin kusebut, tapi juga apa. Tolonnng�tolonnng, jalanan lengang, semua orang tak lagi dapat di pandang, siapa itu, siapa itu, kenapa mereka menjauhiku, kenapa mereka tertawa, kenapa, kenapa�yah..yah itu, bukan, bukan aku yang menyebut, bukan, bukan aku yang mengucap, suara itu bergema, suara itu nyaring, suara itu merdu, dan..dan kenapa aku begitu saja mengikuti suara itu, tolong aku, tolong�mendengarkah kau dengan suaraku, sudah tak ada perlu lagikah tolong, tapi kumohon, khh..hh, napasku sesak, Tolooooooooggkhkh, suara merdu itu semakin nyaring mengalahkan teriakanku
Kabarnya aku pingsan di sebuah lorong kota, tapi aku tak ingat siapa yang membawaku ke rumah sakit jiwa, lalu suster itu bertanya, "Apakah anda berhasrat sekali menjadi seorang Muadzin?" Aku baru tahu kenapa dia bertanya seperti itu, dia mengatakan selama beberapa hari aku menginap di Rumah Sakit Jiwa, setiap menjelang senja aku pasti selalu mengumandangkan adzan. Aku tidak gila, aku hanya menirukan suara yang kudengar saat itu, saat senja, saat aku butuh pertolongan dan entah kenapa juga aku masih bisa mengingatnya. Nah..nah itu dia, itu, suara itu, suara yang sama pernah aku dengar�dan suster itu menggelengkan kepalanya melihat tingkahku mencari asal suara itu.
"Mari suster sama-sama kita dekati suara itu dan jika boleh aku mengenal namamu untuk menghapus nama yang lain." Suster itu mengikuti langkahku dengan tawa yang rapuh.
Banjarbaru, 2004.
cerpen oleh Hairi Insani Putra