Diagnosis1,2,3
Anamnesis
Melakukan anamnesis merupakan langkah pertama untuk menuju diagnosis yang akurat. Anamnesis yang khas untuk kebocoran cairan serebrospinal adalah cairan jernih, konsistensi seperti air dan biasanya unilateral. Diagnosis dipermudah pada pasien dengan trauma atau riwayat operasi baru-baru ini dibanding dengan yang lain. Munculnya delayed fistula sulit untuk didiagnosis dan dapat terjadi beberapa tahun setelah trauma atau operasi. Kasus ini sering salah didiagnosis menjadi rinitis alergi dan rinitis vasomotor.
Riwayat sakit kepala dan gangguan penglihatan mengarah pada peningkatan tekanan intrakranial. Kadang, gejala yang timbul dapat membantu mengarahkan pada lokasi kebocoran. Sebagai contoh, anosmia (pada 60% pasien dengan rhinorea pasca trauma), menunjukkan adanya cedera pada area olfaktori dan fosa anterior, terutama bila timbul unilateral. Gangguan pada saraf optik menunjukkan lesi pada daerah sela tuberkulum, sinus sfenoid, atau sel etmoid posterior. Pasien dengan meningitis berulang, terutama meningitis pneumokokus, harus dilakukan evaluasi untuk mencari defek yang membuat ruang intrakranial terekspos dengan saluran nafas atas, tanpa melihat ada atau tidak cairan serebrospinal.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan rhinologi lengkap (termasuk endoskopi), otology, kepala dan leher, dan evaluasi neurologi. Endoskopi dapat mengungkapkan patologi seperti encephalocele atau meningocele. Drainase cairan serebrospinal sering dapat ditimbulkan saat endoskopi dengan menyuruh pasien melakukan maneuver valsava atau melakukan kompresi pada kedua vena jugularis (Queckenstedt-stookey test). Perubahan posisi kepala pun dapat menimbulkan tanda reservoir.
Pada pasien dengan trauma kepala, tercampurnya darah dan cairan serebrospinal membuat diagnosis menjadi sulit. cairan serebrospinal akan terpisah dari darah ketika ditaruh pada kertas filter, dan menghasilkan tanda klinis berupa: tanda cincin, tanda double cincin atau tanda halo. Namun terdapatnya tanda cincin bukan khas untuk cairan serebrospinal dan bisa menyebabkan hasil positif palsu. Temuan klinis yang sering dikaitkan dengan rhinorea cairan serebrospinal adalah meningitis (30%) dan pneumochepalus (30%).
Pemeriksaan penunjang2
• Foto roengent
Foto radiologi dapat menunjukkan gambaran fraktur tengkorak, air-fluid level pada sinus atau aerocel pada rongga kepala. Terdapatnya udara pada ruang di subarachnoid hampir menjadi tanda patognomonik cedera lapisan dural. Namun pada kasus tanpa riwayat trauma, foto radiologi kurang berperan.
• CT-scan
Ct-scan dapat menunjukkan lokasi fraktur pada kebocoran traumatik, menunjukkan anatomi yang mendasari atau perkembangan yang abnormal pada kasus kebocoran nontraumatik, dan memberikan informasi keadaan parenkim otak di sekitar daerah yang mengalami kebocoran.
• Nasal endoskopi
Nasal endoskopi dilakukan 20-30 menit setelah penyuntikan intratekal dengan fluoresceinsanat baik untuk menemukan kebocoran yang terjadi. Pemeriksa harus mencari cairan serebrospinal yang berfluoresen yang terlihat dengan lampu endoskopi. Tidak perlu menggunakan sinar ultraviolet.
Tata laksana1,2,4
Konservatif
Tatalaksana konservatif terdiri dari bed rest selama 1-2 minggu dengan posisi kepala pasien ditinggikan. Batuk, bersin, menghembuskan nafas melalui hidung, dan mengangkat barang yang berat sebaiknya dihindari sebisa mungkin. Pemberian obat pencahar dapat digunakan untuk mengurangi ketegangan dan peningkatan tekanan intrakranial yang berkaitan dengan pergerakan usus.
Pemberian asetazolamid telah digunakan sebagai terapi tambahan untuk kebocoran cairan serebrospinal. Diuretik ini menurunkan produksi cairan serebrospinal sebanyak 48%. Ketika peningkatan tekanan inrakranial menjadi masalah dan berkontribusi terhadap kebocoran cairan serebrospinal, pemberian asetazolamid dapat berperan dalam hal ini.
Pemakaian antibiotik sebagai profilaksis masih menjadi kontroversi. Namun pada umumnya pemberian antibiotik profilaksis tidak ada indikasi, justru akan membuat resisten pada bakteri. Tapi, pada kelompok dengan risiko tinggi, pemberian antibiotik masih dapat dibenarkan. Sebagai contoh, pasien dengan operasi sinus sebelumnya atau telah ada sinusitis sebelumnya. Kekurangan dari terapi konservatif adalah risiko meningitis dan abses otak.
Terapi bedah
Pemilihan bedah untuk memperbaiki kebocoran cairan serebrospinal yang timbul dari basis kranii anterior dapat dibagi menjadi 2, yaitu pendekatan intrakranial dan ekstrakranial.
Perbaikan intrakranial
Sampai saat ini, perbaikan intrakranial telah menjadi metode standar. Kebocoran yang timbul dari defek anterior dapat dilakukan dengan kraniotomi fosa anterior frontal. Pada situasi tertentu, kraniotomi fosa media atau fosa posterior diperlukan untuk kebocoran yang timbul pada daerah tersebut.
Keuntungan dari pendekatan intrakranial adalah dapat mencakup kemampuan untuk memeriksa korteks serebri yang berdekatan, visualisasi langsung dari defek dural, dan kemampuan yang lebih baik untuk menutup kebocoran pada peningkatan tekanan intrakranial. Ketika upaya preoperative untuk mencari lokasi kebocoran gagal, pendekatan intrakranial memberikan hasil yang baik.
Kerugian menggunkan pendekatan intrakranial termasuk peningkatan morbiditas, peningkatan risiko anosmia, trauma yang berkaitan dengan brain retraction, dan perawatan di rumah sakit berkepanjangan. Kegagalan untuk menggunakan pendekatan ini adalah 40% pada usaha pertama.
Perbaikan ekstrakranial
Perbaikan ekstrakranial dapat dibagi menjadi pendekatan eksternal dan teknik endoskopi.
Pendekatan eksternal menggunakan sebuah flap anterior osteoplastik melalui sayatan bikoronal atau alis, etmoidektomi eksternal, sfenoidotomi transetmoidal, sfenoidotomi transeptal, dan pendektatan transantral. Pemilihan bahan graft meliputi fasia lata, fasia temporalis, mukosa septum, otot, lemak, dan tulang rawan septum. Semua bahan itu ditempatkan dengan menggunakan teknik endoskopi. Untuk kebocoran pada kribrosa atau fovea etmoidalis dapat dilakukan etmoidektomi transnasal dan untuk kebocoran di sphenoid, dipilih sfenoidektomi. Bahan graft ditaruh diatas fistul, bila mungkin diatas basis kranii dibawah defek dural.
Kesuksesan menggunakan pendekatan eksternal ini 86-100%. Kerugian menggunakan cara ini adalah tidak bisa menata laksana kelainan intrakranial secara bersamaan, sulit untuk memperbaiki frontal dan sphenoid yang menluas ke lateral, dan relatif tidak efektif untuk memperbaiki kebocoran dengan tekanan tinggi dari bawah.
Teknik endoskopi
Dibandingkan dengan teknik eksternal, teknik endoskopi memiliki beberapa keuntungan, termasuk visualisasi yang lebih baik. Selain itu, dapat membersihkan tulang dari mukosa tanpa memperbesar ukuran defek dan secara akurat menempatkan graft. Kesuksesan menggunakan endoskopi sekitar 90-95% dalam memperbaiki kebocoran cairan serebrospinal.
Komplikasi
Meningitis merupakan komplikasi yang paling berat dan sering terjadi pada kebocoran cairan serebrospinal. Pathogen yang sering menginfeksi adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Risiko meningitis selama 3 minggu pertama setelah trauma sekitar 10%. Serta pada rhinorea nonntraumatik sekitar 40%.
Meningitis yang disebabkan kebocoran cairan serebrospinal persisten berkaitan dengan mortalitas yang tinggi. Karena penutupan secara spontan berjalan relatif lambat, sehingga manajemen konservatif tidak direkomendasikan.