Post by admin™ on Aug 20, 2009 4:07:58 GMT -5
m/s 271 keluarga gerilya by pramodedya ananta toer
Sedu sedannya mengamuk. Dan angin dan guntur mengamuk. Dan kilat berkejab kejab. Dan antara sebentar teranglah seluruh kuburan itu dengan tonggak tonggaknya yang mencongak congak. Dan di antara segala keributan itu kemudian terdengar sedu sedan salamah jadi tangis yang terburu buru.
"mas aman", susul mas darsono "sekalipun begitu aku telah di lemparkan pada diri adiku sekalipun begitu aku telah berjanji mengantikan engkau . Dan segala janjiku akan ku tunaikan sebagaimana mestinya.
Diam keduanya. Hanya alam meribut. titik hujan yang besar besar turunlah sekarang.
"marilah pulang, dik amah!"
Tak ada terdengar salamah menjawab. Dan kilat mengejap mengejap pula. Dan nampak mas darsono menarik tangan tunangannya, tunangan yang kehilangan perawannya itu.
"hampir hujan, dik amah! mari pulang!"
Dan tak juga datang suara dari mulut salamah. Hanya bunyi angin ribut terdengar dan hujan berderai.
"Engkau masih mau disini?"
"mas" terdengar suara salamah. "pulanglah engkau"
"dan engkau sendiri?"
"aku? tak ada gunanya aku pulang. Tak ada gunanya aku mengawani hidupmu"
"ayolah pulang"
"aku tak punya kehormatan lagi. aku tak mau merusakkan hidupmu, mas. Pulanglah engkau. tinggalkan saja aku disini. tak pantas engkau berjajar dengan orang hina. Engkau masih suci mas dan aku? aku hanya haknya kehancuran dan kebinasaan"
"mari pulang dik? engkau tak boleh begitu"
"aku tak boleh bergaul dengan adik adikku yang masih suci itu"
Hujan turun selebat lebatnya kini. Terdengar sayup bersama angin meniup;
"aku malu pada matahari. Aku malu pada adik adikku. aku malu pada segala galanya. Aku bukan perawan lagi sebagai kemarin sebagai waktu aku meninggalkan pintu rumah. Aku kini hanya sampah yang boleh dibuang dan dibakar"
"dik dalam keadaan bagaimanapun juga hatiku tetap engkau yang mengisi"
Diam sebentar percakapan itu. Dan hujan mengila. Dan dalam kejapan kejapan kilat itu nampak daun daunan berterbangan direnggukan angin dari tangkainya.
"dik" terdengar lagi suara mas darsono di antara keriuhan alam mengamuk. "antara perawan dan tak perawan hanya ada saat beberapa detik. Apakah gunanya aku memperhatikannya? Engkau tetap ku terima dalam hatiku. Engkau tetap salamahku yang dulu. engkau berkorban begitu besar untuk kebebasan dan keselamatan kakakmu sendiri sekalipun gagal semuanya itu. Dan tak ada hak padaku untuk menambahi penderitaan dan siksaanmu. Mari pulang hujan sangat lebat sekarang . engkau nanti sakit kalau lama lama diam dihujanan"
Dan mas darsono menantikan jawapan yang tak kunjung tiba itu.
"marilah pulang"
Kilat berkejab berbareng dengan guntur yang seakan akan membelah belah dengan suaranya. Kemudian kilat yang berentetan menyusul. dan di kala itu nampak salamah bangun dari jongkoknya. Diambil tangan mas darsono keduan berjalan bergandengan menuju ke pintu gerbang kuburan.
tamat penjara bukit duri X 1949
Sedu sedannya mengamuk. Dan angin dan guntur mengamuk. Dan kilat berkejab kejab. Dan antara sebentar teranglah seluruh kuburan itu dengan tonggak tonggaknya yang mencongak congak. Dan di antara segala keributan itu kemudian terdengar sedu sedan salamah jadi tangis yang terburu buru.
"mas aman", susul mas darsono "sekalipun begitu aku telah di lemparkan pada diri adiku sekalipun begitu aku telah berjanji mengantikan engkau . Dan segala janjiku akan ku tunaikan sebagaimana mestinya.
Diam keduanya. Hanya alam meribut. titik hujan yang besar besar turunlah sekarang.
"marilah pulang, dik amah!"
Tak ada terdengar salamah menjawab. Dan kilat mengejap mengejap pula. Dan nampak mas darsono menarik tangan tunangannya, tunangan yang kehilangan perawannya itu.
"hampir hujan, dik amah! mari pulang!"
Dan tak juga datang suara dari mulut salamah. Hanya bunyi angin ribut terdengar dan hujan berderai.
"Engkau masih mau disini?"
"mas" terdengar suara salamah. "pulanglah engkau"
"dan engkau sendiri?"
"aku? tak ada gunanya aku pulang. Tak ada gunanya aku mengawani hidupmu"
"ayolah pulang"
"aku tak punya kehormatan lagi. aku tak mau merusakkan hidupmu, mas. Pulanglah engkau. tinggalkan saja aku disini. tak pantas engkau berjajar dengan orang hina. Engkau masih suci mas dan aku? aku hanya haknya kehancuran dan kebinasaan"
"mari pulang dik? engkau tak boleh begitu"
"aku tak boleh bergaul dengan adik adikku yang masih suci itu"
Hujan turun selebat lebatnya kini. Terdengar sayup bersama angin meniup;
"aku malu pada matahari. Aku malu pada adik adikku. aku malu pada segala galanya. Aku bukan perawan lagi sebagai kemarin sebagai waktu aku meninggalkan pintu rumah. Aku kini hanya sampah yang boleh dibuang dan dibakar"
"dik dalam keadaan bagaimanapun juga hatiku tetap engkau yang mengisi"
Diam sebentar percakapan itu. Dan hujan mengila. Dan dalam kejapan kejapan kilat itu nampak daun daunan berterbangan direnggukan angin dari tangkainya.
"dik" terdengar lagi suara mas darsono di antara keriuhan alam mengamuk. "antara perawan dan tak perawan hanya ada saat beberapa detik. Apakah gunanya aku memperhatikannya? Engkau tetap ku terima dalam hatiku. Engkau tetap salamahku yang dulu. engkau berkorban begitu besar untuk kebebasan dan keselamatan kakakmu sendiri sekalipun gagal semuanya itu. Dan tak ada hak padaku untuk menambahi penderitaan dan siksaanmu. Mari pulang hujan sangat lebat sekarang . engkau nanti sakit kalau lama lama diam dihujanan"
Dan mas darsono menantikan jawapan yang tak kunjung tiba itu.
"marilah pulang"
Kilat berkejab berbareng dengan guntur yang seakan akan membelah belah dengan suaranya. Kemudian kilat yang berentetan menyusul. dan di kala itu nampak salamah bangun dari jongkoknya. Diambil tangan mas darsono keduan berjalan bergandengan menuju ke pintu gerbang kuburan.
tamat penjara bukit duri X 1949