admin™
AdminKandang™
BossMung kandang kamben
Hello Hello Hello Goodbye
Posts: 13,619
|
Post by admin™ on Apr 12, 2008 6:15:21 GMT -5
Catatan Bantimurung: PUISI-PUISI ANAK SENTANI 2. Catatan ini bukanlah bahasan menyeluruh tentang puisi-puisi Luna Vidya, tapi hanyalah catatan kesan tentang hal-hal yang menonjol dan mencirikan puisi-puisi Luna Vidya. Yang kumaksudkan dengan bahasan menyeluruh adalah mengupas puisi-puisi Luna dari berbagai aspek. Karena forum ini kukira tentu bukan tempat padan untuk melakukannya. Tambahan pula, dan ini perlu digarisbawahi, karena kemampuanku memang tidak mencukupi. Catatan ini pun tidak lebih pula dari sebuah kesan setelah membaca puisi-puisi Luna yang kebetulan bisa kukumpulkan. Mengumpulkan karya-karya seseorang, kukira, akan memungkinkan komentator memperoleh bahan guna menggoreskan kesan garis besar, tidak hanya berdasarkan satu tulisan sebagai sampel . Mendingan jika sampel ini benar-benar mewakili. Karena itu komen, kesan, ulasan dan kritik, tidak sama dengan obyektivitas. Baris-baris di atas ini, bisa dipandang sebagai pengantar dan dasar kesanku setelah membaca puisi-puisi Luna Vidya, anak Sentani, Papua, yang kukumpulkan dengan susah payah. Puisi anak Papua, sebagaimana halnya dengan karya-karya sastra pulau dan daerah mana pun sangat menarik padaku dalam rangka mewujudkan politik sastra yang republiken dan berkeindonesiaan yang dijabarkan dalam motto "Bhinneka Tunggal Ika" , kebudayaan itu majemuk , kemanusiaan itu tunggal. Dengan mengatakan ini, aku hendak menunjukkan bahwa aku menolak standarisasi Jakarta. Aku ingin hanya kemanusiaan yang tunggal. Nilai karya sebagai buah kebudayaan itu majemuk dan tak ada monopoli mutu. Monopoli mutu tidak lebih dari kepongahan penganut pandangan cupet sekali pun dikawal dengan deretan bacaaan sebanyak apa pun. Daftar bacaan acuan tidak sama dengan mutu hakiki seseorang. Sama halnya dengan gelar-gelar akademi. Aku khawatir keadaan begini terjadi di Indonesia, misalnya melalui jual-beli gelar, pembelian nilai sks dan hasil ujian di berbagai sekolah dan universitas, pembuatan skripsi dan tesis. Kembali ke soal puisi-puisi berbahasa Indonesia karya anak Sentani ini, bagiku merupakan suatu hal sangat menarik, terutama karena ia ditulis oleh seorang penyair kelahiran Sentani. Perempuan pula. Sebatas pengetahuanku, sastrawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana pengungkapan diri masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Dari puisi-puisi Luna Vidya yang berhasil kukumpulkan, nampak padaku Luna hadir dengan memperlihatkan metafora-metafora khas dari seorang penyair yang lahir dan besar di tengah alam atau alat-alat kerja dalam masyarakat pedesaan yang belum tersentuh industiralisasi. Misalnya pada dua sanjak di bawah ini: Bulir Padi, Bumi Sepi Seperti orang menimba bulir padi ke dalam wadah Demikian tangan waktu menimbaku
Seperti orang menimba bulir padi ke dalam wadah hingga menyesak ke sudut Demikian waktu menyesakkan hadirmu ke sepi paling murni jiwaku
Seperti orang menimba padi ke dalam wadah hingga menyesak ke sudut pada waktu petang Demikian bayangmu datang padaku di rembang petang silau langit tertoreh lalu jatuh hujan ke ladangku hujan akhir musim , di sepetak ragu berbatas langit yang terus kutanami meski berbuah pahit
seperti bulir padi dijauhkan orang dari waktu yang kelam demikian kuikat mulut malam tempat kita kusimpan lalu menunggu diriku ditanak waktu musim demi musim bersendiri seperti bulir padi pecah jadi nasi.
2008
lunes 17 de marzo de 2008 jala koyak pada jala yang koyak mataku berurai benang waktu menjahit masa depan jadi kenangan
March 2008 Paris, April 2008 JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris
|
|
admin™
AdminKandang™
BossMung kandang kamben
Hello Hello Hello Goodbye
Posts: 13,619
|
Post by admin™ on Apr 15, 2008 20:15:27 GMT -5
Catatan Bantimurung: PUISI-PUISI ANAK SENTANI 3. Dari puisi-puisi Luna Vidya yang berhasil kukumpulkan, nampak padaku Luna hadir dengan memperlihatkan metafora-metafora khas dari seorang penyair yang lahir dan besar di tengah alam atau dalam masyarakat pedesaan yang belum tersentuh industiralisasi dan masih hidup dengan alat-alat produksi sederhana. Laut , sungai, gunung, hutan- belantara, sawah dan ladang menjadi teman bermain serta menjadi bagian dari kehidupan penyair yang suka menyelam [diving] ini. Misalnya pada dua sanjak di bawah ini: Bulir Padi, Bumi Sepi Seperti orang menimba bulir padi ke dalam wadah Demikian tangan waktu menimbaku
Seperti orang menimba bulir padi ke dalam wadah hingga menyesak ke sudut Demikian waktu menyesakkan hadirmu ke sepi paling murni jiwaku
Seperti orang menimba padi ke dalam wadah hingga menyesak ke sudut pada waktu petang Demikian bayangmu datang padaku di rembang petang silau langit tertoreh lalu jatuh hujan ke ladangku hujan akhir musim , di sepetak ragu berbatas langit yang terus kutanami meski berbuah pahit
seperti bulir padi dijauhkan orang dari waktu yang kelam demikian kuikat mulut malam tempat kita kusimpan lalu menunggu diriku ditanak waktu musim demi musim bersendiri seperti bulir padi pecah jadi nasi.
2008
lunes 17 de marzo de 2008 jala koyak pada jala yang koyak mataku berurai benang waktu menjahit masa depan jadi kenangan
March 2008 Atau puisi-puisi berikut: Dua Sajak untuk Dua Kawan : ami
di pematang, di antara batang kelapa dan pinang burung terbang ,
kepiting bermain dengan bayang-bayang,
biren dan remis yang di gali untuk kesenangan akhir pekan
dalam kanal-kanal surut di sepanjang purnama terbentang Di antara kepak sayap, anyir tambak kubuka telapak tangan diam-diam
di bawah terik matahari, lalu menutup cengkram kuat sekali di setiap magrib,
berharap tanganmu ada di sana, menikmati segala ngilu dari kisah tentang masa lalu kisah pinang patah yang perih
kisah inong aceh.
bersama. Ah!
:matsui-san
kukirim puisi ke negeri musim dingin, angin hembus, di atas hijau sawah, di antara batang kelapa dan pinang Begini: aku menitip matahari aceh,
yang mengeringkan punggung perempuan di sawah,
punggung yang tak patah oleh rasa takut
pada bayang hitam yang menyelinap di antara pepohonan kelapa dan pinang.
apa kabar yang di bawa musim dingin?
mungkin seperti kerja keras telah mendidihkan periuk,
puisi ini cukup untuk mendidihkan sup
sebelum terhidang di meja makan. kupikir, di musim seperti ini
di luar salju terus jatuh, seperti buah pinang dan kelapa jatuh di pangkuan perempuan aceh
yang menimangnya jadi hidup
sehari, sudah cukup. miércoles 12 de marzo de 2008 !penjelasan panjang untuk "hi" yang pendek meski tak pernah saling mengucapkan selamat jalan seperti laut dan pantai, kita akan selalu berdampingan kita akan saling melupakan 3/12/2008 martes 11 de marzo de 2008 Kapan telah memanggil belalang pelahap ke dalam kebun harap Kenapa mengundang angin panas dari tenggara Mengobarkan sengsara di antara tunas dan kelopak. Juga buah muda.
Mereka pasti tak bisa membaca tanda penawaran yang kuletakkan di jalan depan:
saya mencintaimu. hanya itu.
March 2008 Mencapai Bulan Seperti melihat musim tumbuh di ujung pohonan Putih, hijau terang, merah, di wajah hutan Kulihat cinta tumbuh di bawah langit telanjang sulur tanpa penopang telah mencapai bulan tanpa warna. Atau hitam?
March 2008 viernes 7 de marzo de 2008 Manggigil*) Batu di ombak itu, berdiri di pantai tanpa angin, memaku mata pada laut yang tak mengalun sambil mengunyah waktu dan pada lembah-lembah hari Duka memanggilnya dari pucuk kering pohonan jadi helai angin
Batu ombak itu, mata bermuara tanya, Kenapa pilu riang bermain gelombang Kenapa cinta tak hendak pulang Ketika laut tak mengantar apa-apa, Juga angin tak memuat berita?
Batu di ombak itu adalah bongkah duka lupa pada namanya, yang tanya di mata : " Kenapa kelu?" Lalu terbahak-bahak tertawa melihat kepiting bunting Berendam tenang di sekujur lukanya
pantai berangin, laut mengalun batu ombak itu telah menjelma aku Cadas. Diam. Penuh binatang karang. Di kedalaman, adalah ketenangan yang ganjil. Sedih yang menggigil
*Manggigil = menggigil (Maluku)
March, 2008 miércoles 5 de marzo de 2008 Yang Tumbuh, Aneh Sungguh Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu Di bawah palem baru melepas pelepahnya Semak berdaun semanggi menyisir embun di gerimis pagi. Selalu menyapa hari seperti ini, gerimis yang menusukan sepi
Asa lepas seperti hangat tubuh pergi dalam dingin. Lalu bersendiri seperti pelepah kusambut dengan kepala tengadah, ampas perih Membuka mulut lebar-lebar menelan kecewa yang di tikamkan musim. Seperti sarapan pagi, kupenuhi hasrat dengan dengki. Berharap ia jadi serbuk hitam pemati rasa untuk menghalau raung dan aum Rindu yang menggigil dengan mata berdarah Di dalam hujan, Kuyup tanah hati , olehnya. Merah.
Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu, Selalu menyapa sepi seperti ini, Gerimis mencengkram hati kusut menyisirnya dengan kuku sepi Dan Rindu adalah pelepah tua tengadah Terkuak pasrah pada sayat sepi dalam genggam gerimis menatap tak lepas Datangnya ayun tangan yang membuat mata berdarah.
Lama setelah itu, orang lalu melihat tunas berdaun semanggi menyemak di mataku, Kata mereka: "kau ditumbuhi cinta" Atau pada puisi berikut: Ichthus berenang di laut luka matahari ombak karang sengat segala laut mengupasku hingga tulang
aku menjelma ikan
2007 Ikan, batu, cadas, kepiting, daun, jala, karang, hutan, semak-semak, dan lain-lain yang didapatkan oleh penyair anak Sentani dipungutnya secara spontan untuk melukiskan suasana perasaan dan alur pikirnya, sehingga Luna Vidya yang mempunyai hoby menyelam ini bisa dikatakan sebagai penyair alam. Ciri begini pun juga kudapatkan pada puisi-puisi lisan seperti sansana kayau, karungut, deder, di Tanah Dayak, misalnya di DAS Katingan, Kalimantan Tengah . Juga kudapatkan di kalangan petani-petani di pedesaan kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Untuk melukiskan keadaan rumit dan penuh liku, para petani Klaten melukiskannya ibarat "kacang panjang melilit tiang panjatannya" dan ketulusan menyambut seseorang dituturkan sebagai penerimaan dengan berhidangkan hati [ulam manah]. Puisi dengan perbandingan- perbandingan alam begini agaknya umum dilakukan oleh penyair-penyair yang hidup di tengah-tengah masyarakat agraris. Di Klaten sekarang terjadi perobahan besar di bidang ekonomi. Sawah, kebun tembakau dan tebu menyusut didesak oleh bangunan-bangunan besar seperti mall. Penduduk menggunakan tanah sawah untuk membuat batu bata dan genteng sebagai sumber penghasilan baru. Klaten agaknya sudah tidak lagi menjadi lumbung padi dan gula serta tembakau Jawa Tengah. Desa-desa mulai berobah menjadi desa-kota dengan kelengkapan seperti yang terdapat di kota. Internet, telepon genggam, tivi, warnet, wartel terdapat di mana-mana. Andong digantikan oleh ojeg, sepeda motor dan mobil. Apakah perobahan ini akan mempunyai dampak pada bahasa dan metafora puisi serta pengungkapan diri? Pertanyaan begini muncul di benakku karena melihat bahwa sejalan dengan perkembangan masyarakat nampak terjadi juga pergeseran makna kosakata. Misalnya "genduk" yang tadinya di Jawa Tengah, merupakan panggilan kesayangan pada anak perempuan, sekarang bergeser artinya menjadi pembantu rumah tangga. Pergeseran makna kosa kata ini pun kukira bisa diusut lebih jauh. Dari pergeseran makna ini kita sekaligus bisa melihat adanya perobahan psikhologis dan pola mental masyarakat yang rasuk dengan perobahan tatanan ekonomi masyarakatnya . Waktu bekerja di kalangan kaum buruh, dalam perbandingan, saya dapatkan bahwa metafora yang mereka gunakan berbeda dengan yang saya dapatkan di kalangan kaum tani. Kaum buruh nampaknya menggunakan cara-cara pengungkapan diri yang lebih langsung. Kekuatan cara ungkap begini, barangkali terletak pada dayanya dalam menangkap hakekat soal. Apa lalu yang kusimpulkan, mungkin lebih kena, hipotesa, dari keadaan di atas? Nampak padaku bahwa lingkungan, termasuk lingkungan sosial, mempunyai peranan menentukan pada pola pikir, mentalitas, imajinasi dan metafora. Dan tentu saja pikir dan mentalitas ini berdampak balik pada lingkungan. Artinya antara keduanya, terdapat hubungan dialektis, walau pun tidak mekanis. Dari keadaan di atas, aku juga melihat adanya hubungan antara "bangunan dasar" [base structure ] dengan "bangunan atas" [super structure]. Melalui metafora agaknya kita bisa menelusuri saling hubungan ini. Paris, April 2008. ------------ --------- -- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
|
|
admin™
AdminKandang™
BossMung kandang kamben
Hello Hello Hello Goodbye
Posts: 13,619
|
Post by admin™ on Apr 15, 2008 20:17:13 GMT -5
PUISI-PUISI ANAK SENTANI 4. Ciri lain yang menonjol pada puisi-puisi Luna yang juga pemain teater handal, "pemonolog terbaik yang kukenal" jika meminjam penilaian Lily Yulianti penulis kucerpen "Makkunrai", serta pernah tampil di TIM Jakarta, terletak pada kesederhanaan pengucapannya. Kesederhanaan , umumnya, memang merupakan ciri dari warga masyarakat pedalaman dan agraris. Bahkan di Perancis ini, pun orang-orang di propinsi lebih sederhana sikap dan pengucapan mereka dibandingkan dengan orang-orang di Paris. "Paris bukan Perancis", sering kudengar ucapan begini ketika saya berbicara dengan orang-orang di propinsi. Dengan kesederhaan pengucapan dan perbandingan ini, puisi-puisi Luna , yang pada akhir bulan April 2008 ini akan turut tampil mementaskan salah sebuah karya Riantiarno di Makassar bersama grup teater Tambora, tidak menjadi "puisi gelap". Tidak menjadi puisi yang sulit dipahami. Kesederhaan, biasanya berhubungan dengan kejujuran pada diri sehingga yang diucapkan, yang ditulis terasa langsung mengalir dari lubuk hati. Seperti air bening mengalir dari sumbernya di gunung lalu mengarus di sungai mencari muara dan laut. Sebagai misal saya ambil puisi berikut yang saya ambil dari kumpulan : "Jalan-jalan Kecil Ke Rumah" "rumahku di jayapura, papua, terletak di atas bukit. hanya seratus meter dari jalan umum di bawahnya.
jalan kecil yang menghubungkan rumah kami dengan jalan umum, Jl. Gunung Agung, bukan jenis jalan beraspal yang dihaluskan. Jalan itu berbatu-batu.
di rumah itu, separuh hidupku dikubur. kusimpan ini disini, karena akhirnya aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang".
[Sumber:http: //lunavidya. blogspot. com/2007/ 08/jalan- kecil-ke- rumah.html] Ciri-ciri kesederhanaan yang kukatakan di atas, terdapat pada puisi Luna ini. Dari puisi ini, bayangan kampungnya di Jayapura, Papua terbayang jelas hanya melalui beberapa kata. Dan Luna pun mengungkapkan rindunya secara unik: "karena akhirnya aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang". Bagi orang yang pernah tinggal di pedalaman, di pinggir sungai atau berada di puncak-puncak pegunungan Papua, orang akan segera tahu betapa indahnya pemandangan saat matahari akan tenggelam di hulu atau di balik gunung atau ketika fajar tiba. Sedangkan tekhnik pengucapan rindu dilakukan oleh Luna secara unik dan berada di luar kejamakan mayoritas puisi dewasa ini yang banyak lahir di daerah urban. Tidak heran jika syohib lamaku, budayawan Solo asal Banten, Halim HD mengatakan dengan pasti dan berulang-ulang saban jumpa bahwa "Sesungguhnya Bung, etnik dan daerah merupakan sumber budaya dan kreativitas luar biasa". Sayangnya apa yang dikatakan oleh Halim HD ini kurang dilirik oleh sastrawan-seniman kita yang asyik dengan Barat saja. Bahkan terkadang budaya etnik dan daerah dipandang sebagai hal tradisional dan kadaluwarsa. Padahal apakah nilai yang tertera pada pepatah: "menepuk air di dulang memercik ke muka sendiri" atau: "tangan mencencang bahu memikul" itu kadaluwarsa dan sudah tidak tanggap zaman? Apakah konsep hidup-mati manusia Dayak dahoeloe: "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang putera-puteri naga] itu kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman? Keadaan begini selalu mengingatkan saya akan kritik Mao Zedong pada cendekiawan Tiongkok pada tahun 1930an: "Lebih kenal Yunani Kuno daripada mengenal Tiongkok". Atau yang sering kudengar di kalangan keluargaku bahwa "kita lebih kenal kanal-kanal di Negeri Belanda daripada sungai-sungai di Kalimantan". Keadaan beginilah yang sering kukatakan sebagai keterasingan diri dari kampunghalaman sendiri. Kerberadaan di kampunghalaman bukan jaminan kita kenal kampung halaman. Inti keadaan begini, barangkali terletak pada pertanyaan: kita berada di mana, apa masalah nyata kita, kemudian bagaimana lalu mau ke mana serta jalan apa yang ditempuh untuk sampai ke tempat mau ke mana. Sederhana berbeda dengan "jual koyok" yang hampa isi. Berbeda dengan "balagu" atau "balagak" hingga menjadi tong kosong nyaring bunyinya. "Sederhana itu indah tapi tidak sederhana untuk menjadi sederhana", ujar Agam Wispi alm., penyair asal Aceh yang hidup-mati dari puisi. Sederhana, kukira menjadi indah karena ia menangkap sari masalah yang sering disebut hakekat. Sederhana erat dengan kejujujuran. Sederhana memberi sayap pada kata-kata hingga ia memancing selaksa tafsir mendekati luasnya ruang galaksi. Terbukanya ruang bagi selaksa tafsir mendekati luas ruang galaksi barangkali merupakan ciri kekuatan puisi . Cara puisi yang berbicara dengan hati dan otak memberikan kemerdekaan dan kebebasan pada pembacanya. Tidakkah ciri-ciri ini yang terdapat pada larik-larik Agam Wispi: "pita merah dan matahari cinta berdarah sampai mati" atau baris Chairil Anwar: "sekali berarti sudah itu mati"? Kesederhanaan dan pengucapan langsung merupakan salah satu ciri puisi-puisi Luna. Ciri yang merupakan salah satu kekuatannya, kalau bukan kekuatan utamanya. Puitisitas puisi-puisi Luna, si penyair Sentani, Papua, mencuat dalam kesederhanaan dan pengucapan langsungnya, seolah meneruskan kekuatan puisi lisan. Tentang kesederhanaan ini saya masih tidak bisa mengabaikan kata-kata M. Aan Mansyur, penyair kelahiran Bone, yang baru-baru ini melakukan "Tour de Java Sastra Makassar", penulis antologi puisi "Aku Hendak Pindah Rumah". Aan menulis dalam "Engkau Dan Sajakku": "ENGKAU selalu sengaja memilih busana yang sederhana agar kecantikanmu tidak karam ke dalam kemewahan. Aku selalu sengaja memilih bahasa yang bersahaja saja agar makna sajakku tidak lenyap di perangkap ungkapan". Dari kata-kata sederhana puitis Aan ini,saya dapatkan orientasi dan sikap bersastra. Orientasi yang juga kudapatkan pada Lily Yulianti dalam kucerpennya Makkunrai. Juga pada Luna Vidya. Apakah gejala ini merupakan jawaban sastrawan-seniman pulau dan daerah terhadap "sastra wangi", "sastra lendir", dan sejenisnya serta sentralisme nilai? Makassar,Lampung, Riau ,Flores, Timor Barat, Padang, Medan, dan daerah-daerah lainnya nampak sedang menjanjikan sesuatu bagi sastra negeri kampung-halaman ini. Maka munculnya Luna Vidya sebagai seniman Papua di tengah dunia sastra-seni negeri ini, sungguh menggembirakan dan memperkuat tendensi serta gejala ini. Paris, April 2008. ------------ --------- -- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
|
|
admin™
AdminKandang™
BossMung kandang kamben
Hello Hello Hello Goodbye
Posts: 13,619
|
Post by admin™ on Apr 15, 2008 20:19:35 GMT -5
PUISI-PUISI ANAK SENTANI 5. Maka munculnya Luna Vidya sebagai seniman Papua sungguh menggembirakan dan memperkuat tendensi serta gejala ini. Gejala berkembangnya sasatra-seni kepulauan dan daerah, ujud dari "bhinneka tunggal ika" dalam bidang kebudayaan dan kita harapkan berorientasi pada nilai-nilai republiken serta berkeindonesiaan. Selain dua ciri di atas, puisi-puisi Luna lebih bersifat liris, mengungkapkan pikiran dan perasaannya terhadap kejadian-kejadian yang mengitiarinya dan ia alami. Tuturan lukisan ini, rata-rata memang tidak disertai dengan perenungan hakiki. Belum sampai kepada tingkat merenungi apa gerangan hakekat di balik kejadian-kejadian itu. Sampai sekarang, puisi-puisi Luna masih berada di taraf permukaan dari segi pemikiran, ketika ia berhadapan dengan peristiwa sebagai gejala. Dan ini tidak menjadi suatu keberatan besar, walau pun ada yang berpendapat bahwa penyair yang bekerja menggunakan bahasa sebagai alat sesungguhnya ia pun adalah seorang pemikir. Sehingga selain ia bisa memberikan sumbangan kepada kebudayaan melalui penyempurnaan bahasa, sang penyair banyak diharapkan sumbangannya dari segi gagasan. Sumbangan gagasan tidak mungkin diharapkan dari seorang penyair jika sang penyair hanya berkutat dengan dirinya tanpa meluaskan lingkup cakrawala penglihatannya serta tanpa bertanya apa gerangan yang terdapat di balik gejala. Penyair tidak pernah berkelebihan dalam masyarakat, tapi penyair yang dinantikan oleh masyarakat adalah penyair yang merupakan anak zamannya, penyair yang mampu menjadi jiwa bangsa dan zamannya. Hal begini tidak mungkin diharapkan dari penyair-penyair narsistik dan tipe "anak pangeran" atau "anak raja" jika meminjam istilah Paul Elouard, penyair Perancis yang juga pejuang anti fasis. Saya tidak mentabukan penyair bicara tentang dirinya, tidak juga mentabukan sastrawan bicara tentang seks. Hanya jika kita membaca Sade misalnya Sade yang juga anti fasis menggunakan tema seks dalam konteks menenang nilai dominan pada zamannya dengan cara yang paling ekstrim sehigga lahir istilah sadisme yang bermula dari nama Sade juga adanya. Hal begini tidak mungkin dilakukan oleh Sade dan siapa pun jika tidak mempunyai lingkup horison pandangan yang luas dan sibuk dengan diri sendiri. Pramoedya dan Goenawan Mohamad , misalnya juga bicara soal seks. Tapi seks tidak menjadi tema pokok mereka dan ketika berbicara tentang seks dua sastrawan ini mengolahnya dengan lingkup cakrawala yang luas. Pram intens belajar tentang sejarah Indonesia. Intens memperkaya bahasa Indonesia. Sedangkan Goenawan juga melihat kehidupan dengan segala seginya. Dengan lingkup pandang yang luas ini, Goenawan memprakarsai berdirinya Komite Indonesia Untuk Pengawasan Pemilu yang membuatnya dikejar-kejar serta mendirikan AJI. Caping Goenawan di Majalah TEMPO adalah rangkaian tulisan yang memperlihatkan cakupan perhatian Goenawan sebagai penulis. Pram dan Goenawan adalah sastrawan yang sudah sampai pada tingkat sastrawan sadar -- tingkat sastrawan yang sumbangan pemikirannya diharapkan oleh masyarakat dan kemanusiaan. Sumbangan apakah yang terpenting yang diharapkan masyarakat dari sastrawan selain sumbangan gagasan , pemikiran dan penyempurnaan bahasa yang menjadi alat kerjanya dan alat komunikasi dalam hidup bermasyarakat? Menjadi penulis, kukira, pertama-tama, bukanlah untuk mengejar nama tapi adalah suatu misi manusiawi. Nama adalah hasil kerja dan pengakuan masyarakat atas sumbangan. Sedangkan penguasaan tekhnik menulis yang niscaya terus-menerus ditingkatkan seiring dengan usaha terus-menerus meningkatkan taraf diri, hanyalah sarana bekerja dalam usaha pemanusiawian diri, kehidupan dan masyarakat. Makin tinggi taraf tekhnis dan nilai diri, sumbangan manusiawi seorang sastrawan akan makin besar. Keketersohoran paling tidak mempunyai dua segi : ketersohoran kosong dan ketersohoran bermutu. Ketersohoran hampa agaknya lebih dekat dengan sifat gelembung sabun dan busa sungai tak obah seorang manekin memperagakan kecantikan dan ketampan wajah serta fisik di depan publik tapi sonder mimpi. Penyair-penyair sastra lisan yang kudapatkan di daerah-daerah pedalaman Kalimantan, sangat menarik perhatianku karena dari karya-karya spontan mereka kudapatkan nilai-nilai yang menyimpulkan secara puitis dan sangat komunikatif pengalaman kolektif orang sekampung. Mereka tidak berpuisi tidak dari dermaga keinginan mengejar nama. Sehingga saya bisa mengerti mengapa Luna, sebagai orang pedalaman Papua, enggan menyiarkan puisi-puisinya. Luna berpuisi secara instingtif. Tapi apakah Luna sadar bahwa dengan modal instingtif ini ia bisa mengembangkan diri sebagai penyair lebih jauh lagi? Luna mempunyai kemampuan tekhnis dan kepekaan tajam sehalus permukaan danau terhadap hembusan angin peristiwa demi peristia selembut apa pun dan tak pernah jeda. Luna mempunyai syarat untuk menjadi penyair anak zamannya. Etnik dan bangsanya apalagi ia memang dekat dengan grass-root [akar rumput] sebagai orang yang bekerja di Development Community [Komunitas Pembangunan] . Sekali pun instingtif merupakan tingkat awal perkembangan seseorang sebagai penyair tapi dari karya-karya penyair instingtif, dan biasanya bermula dari soal jatuh cinta, kita masih bisa melihat tingkat perkembangan masyarakat pada suatu kurun sejarah. Bisa menelusuri nilai dominan apa dan bagaimana yang terdapat pada masyarakat di mana penyair berada. Karena itu karya sastra sangat membantu penyimakan lebih lanjut tentang suatu masyarakat pada kurun waktu tertentu. Misalnya "sastra wangi", "sastra lendir", "sastra selangkang", dan sejenisnya tetap bisa dijadikan bahan penyimakan lanjut terhadap keadaan masyarakat dari segi sejarah, sosiologi, psikhologi, sejarah, filsafat dan ekonomi . Sebab kiranya, sastra sebagai bagian dari "bangunan atas" tidak terlepas konteks dari "bangunan bawah" serta lingkup zaman. Mereka bukanlah gejala kebetulan. Unntuk menjadi anak zaman dan jubir zaman, kukira tidak mungkin dilakukan jika sastrawan hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Adanya narsisme pun sebenarnya tak lepas dari tingkat seorang sastrawan dan tahap perkembangan masyarakat. Dominan tidaknya narsisme, kukira, mempunyai kaitan dengan nilai dominan dan tahap perkembangan masyarakat. Dengan latar belakangnya sebagai anak pedalaman Papua, dengan kejujuran dan kesederhanaannya, serta kepolosannya, jika dilihat dari suut pandang teori "tabula rasa", dengan kemampuan tekhis yang ia miliki sekarang dalam berpuisi, saya sangat percaya bahwa Luna akan sangat mampu mengembangkan diri jadi penyair sadar. Apalagi ia sekarang berada di akar rumput. Kemampuan Luna dalam berpuisi dan penguasaan tekhnisnya kulihat benar misalnya dari puisi-puisinya yang berhasil kuhimpun antara lain dari puisi-puisinya berikut ini: Mencapai Bulan Seperti melihat musim tumbuh di ujung pohonan Putih, hijau terang, merah, di wajah hutan Kulihat cinta tumbuh di bawah langit telanjang sulur tanpa penopang telah mencapai bulan tanpa warna. Atau hitam?
March 2008 viernes 7 de marzo de 2008 Manggigil*) Batu di ombak itu, berdiri di pantai tanpa angin, memaku mata pada laut yang tak mengalun sambil mengunyah waktu dan pada lembah-lembah hari Duka memanggilnya dari pucuk kering pohonan jadi helai angin
Batu ombak itu, mata bermuara tanya, Kenapa pilu riang bermain gelombang Kenapa cinta tak hendak pulang Ketika laut tak mengantar apa-apa, Juga angin tak memuat berita?
Batu di ombak itu adalah bongkah duka lupa pada namanya, yang tanya di mata : " Kenapa kelu?" Lalu terbahak-bahak tertawa melihat kepiting bunting Berendam tenang di sekujur lukanya
pantai berangin, laut mengalun batu ombak itu telah menjelma aku Cadas. Diam. Penuh binatang karang. Di kedalaman, adalah ketenangan yang ganjil. Sedih yang menggigil
*Manggigil = menggigil (Maluku)
March, 2008 miércoles 5 de marzo de 2008 Yang Tumbuh, Aneh Sungguh Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu Di bawah palem baru melepas pelepahnya Semak berdaun semanggi menyisir embun di gerimis pagi. Selalu menyapa hari seperti ini, gerimis yang menusukan sepi
Asa lepas seperti hangat tubuh pergi dalam dingin. Lalu bersendiri seperti pelepah kusambut dengan kepala tengadah, ampas perih Membuka mulut lebar-lebar menelan kecewa yang di tikamkan musim. Seperti sarapan pagi, kupenuhi hasrat dengan dengki. Berharap ia jadi serbuk hitam pemati rasa untuk menghalau raung dan aum Rindu yang menggigil dengan mata berdarah Di dalam hujan, Kuyup tanah hati , olehnya. Merah.
Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu, Selalu menyapa sepi seperti ini, Gerimis mencengkram hati kusut menyisirnya dengan kuku sepi Dan Rindu adalah pelepah tua tengadah Terkuak pasrah pada sayat sepi dalam genggam gerimis menatap tak lepas Datangnya ayun tangan yang membuat mata berdarah.
Lama setelah itu, orang lalu melihat tunas berdaun semanggi menyemak di mataku, Kata mereka: "kau ditumbuhi cinta" Ichthus berenang di laut luka matahari ombak karang sengat segala laut mengupasku hingga tulang
aku menjelma ikan
2007 atau dari puisi prosa berikut: Jalan-jalan Kecil Ke Rumah "rumahku di jayapura, papua, terletak di atas bukit. hanya seratus meter dari jalan umum di bawahnya.
jalan kecil yang menghubungkan rumah kami dengan jalan umum, Jl. Gunung Agung, bukan jenis jalan beraspal yang dihaluskan. Jalan itu berbatu-batu.
di rumah itu, separuh hidupku dikubur. kusimpan ini disini, karena akhirnya aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang".
Sedangkan judul-judul antologi "Jalan-jalan Kecil Ke Rumah", adalah judul puitis dan sekaligus melukiskan keadaan kampungnya di Papua. Hadirnya Luna Vidya dalam dunia sastra negeri ini, seakan mengatakan dengan tegas bahwa sastra Indonesia itu bukan hanya ada di Jawa. Sastra Indonesia adalah semua karya sastra baik yang berbahasa lokal atau pun yang berbahasa Indonesia yang ada di wilayah hukum Republik Indonesia. Salahkah? Sastra-seni kepulauan adalah jalan sastra-seni negeri yang republiken dan berkeindonesiaan. Saya seakan melihat Luna Vidya berjalan mantap dengan penuh kepercayaan diri di jalan sastra-seni Indonesia yang demikian yang republiken dan berkindonesiaan bersama barisan sastrawan dan seniman Indonesia lainnya. *** Paris, April 2008. ------------ --------- -- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
|
|